Tuntutan Hukum Mati Heru Hidayat Dinilai Tidak Cermat, Begini Analisis Pakar Hukum Pidana UI

Kamis, 09 Desember 2021 – 23:19 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat saat hendak memasuki mobil tahanan Kejagung, Selasa (14/1). Foto: Antara/Anita Permata Dewi

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum pidana Eva Achjani Zulfa menilai ada kekeliruan dalam tuntutan pidana hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi Asabri, Heru Hidayat.

Dia menganggap syarat tuntutan mati itu tidak terpenuhi, apabila alasan jaksa bahwa terdakwa mengulangi tindak pidana.

BACA JUGA: Terdakwa Korupsi Asabri Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati

Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengatakan terdapat perbedaan pasal yang dikenakan jaksa terhadap Heru, yakni didakwa Pasal 2 ayat 1.

Namun, dalam tuntutan dikenakan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal dakwaan pada dasarnya merupakan mahkota yang dimiliki jaksa.

BACA JUGA: Sidang Asabri: Saksi Sebut Heru Hidayat Pemilik Millennium Capital Management

"Maka dari itu, dakwaan harus jelas dan cermat seta lengkap. Kekeliruan dalam dakwaan menyebabkan dakwaan batal demi hukum. Lihat Pasal 143 KUHAP. Karena dakwaan adalah panduan bagi jaksa dan hakim dalam memeriksa perkara," kata dia saat dihubungi, Kamis (9/12).

Eva melihat jaksa tidak menyelaraskan dakwaan dengan tuntutan. Sementara tuntutan yang sudah dijatuhkan adalah seumur hidup, maka yang berlaku adalah stelsel pemidanaan absorpsi, di mana pidana kemudian diserap pada waktu sebelumnya.

BACA JUGA: Muhammad Erwin Buka Lowongan Kerja Palsu di BUMN, Gampang Banget Mendapat Rp 1 M

"Pengulangan tindak pidana atau recidive pada dasarnya adalah keadaan yang memperberat. Makna recidive atau pengulangan, apabila terdakwa sebelumnya telah divonis bersalah dan telah menjalani sebagian atau seluruh pidananya," terangnya.

Namun, lanjut dia, dalam perkara terdakwa Heru Hidayat yang ada bukan pengulangan. Sebagaimana syarat pengulangan yang tertulis dalam Pasal 486-489 KUHP, tetapi bersamaan tindak pidana atau samenloop atau disebut juga concursus.

Tindakan tersebut ancaman pidananya mengacu pada Pasal 65 KUHP, yaitu yang terberat lebih dari 1/3 dari ancaman pidana. Mengacu pada Pasal 2 ayat 1 yang terdapat dalam dakwaan Heru Hidayat, ancaman hukumannya 15 tahun ditambah 1/3 dari total hukuman terberat 15 tahun, yakni 20 tahun.

"Karena ancamannya tidak digabungkan dalam dengan Jiwasraya, maka dianggap sebagai delik tertinggal, Pasal 71 KUHP. Maka perhitungannya 20 tahun pidana yang telah dijatuhkan dalam vonis sebelumnya," paparnya.

Dia melihat tuntutan jaksa terhadap Heru Hidayat justru menggunakan Pasal 2 Ayat 2 yang merupakan bentuk pemberatan atas Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Bila tindak pidana dalam keadaan tertentu, pelaku dapat diperberat hukumannya, misalnya korupsi dalam keadaan bencana.

"Maka tuntutan karena pemberatan harusnya sejak awal mengacu pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor juntco Pasal 71 KUHP," katanya.

Dia mengatakan tuntutan yang berbeda dari dakwaan mencerminkan ketidakcermatan jaksa dalam membuat dakwaannya.

BACA JUGA: Marbut Masjid Curiga Air di Kamar Mandi Jalan Terus, Lalu Diintip, Astaga, Ternyata

"Maka sebagaimana dalam Pasal 143 KUHAP harusnya batal demi hukum. Dalam hal ini tuntutan tidak dapat ditarik kembali," pungkasnya. (tan/jpnn)


Redaktur : Budi
Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler