Tolak Intimidasi Ala Orde Baru, SBY Diminta Tegas

Jumat, 06 Juni 2014 – 12:06 WIB

jpnn.com - JAKARTA -- Kasus oknum Bintara Pembina Desa TNI, yang diduga mendata dan mencoba mengarahkan warga agar memilih calon presiden tertentu, sangat membahayakan.

Pola ini dianggap menghidupkan kembali pendekatan yang lazim dilakukan rezim Orde Baru dan membahayakan demokrasi.

BACA JUGA: Menristek Lantik Unggul Priyanto jadi Kepala BPPT

"Ini pola-pola yang lazim digunakan rezim Orde Baru. Pendekatan menggunakan tentara mempengaruhi pilihan warga, tak bisa dibiarkan," kata Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat M Affifuddin, di Jakarta, Kamis (5/6).

"Ini mengancam sendi-sendi demokrasi, yang dibangun susah payah dengan darah dan air mata," tambahnya.

BACA JUGA: Jokowi Tegaskan Papua Sangat Penting Bagi Indonesia

Ia menambahkan, memperalat tentara, sudah sangat jelas itu adalah gaya Orde Baru. Panglima TNI, kata dia, harus bertindak tegas. Jangan sampai membiarkan institusi militer yang harusnya netral, menjadi partisan. Apalagi, Presiden SBY, sudah mensinyalir ada jenderal aktif yang coba membawa institusi tentara untuk mendukung salah satu capres.

"Siapapun tidak boleh mengintervensi pilihan orang, tentara sekalipun," ungkapnya.

BACA JUGA: Pemerintah Fokuskan Program Transmigrasi Untuk Pertanian

Menurutnya, tentara dipakai sebagai alat politik, selain melanggar undang-undang, juga membahayakan demokrasi.

Bangsa Indonesia, pernah mengalami masa gelap, ketika tentara digunakan untuk kepentingan politik saat Orde Baru berkuasa.

Harusnya di era reformasi ini, kata dia, cara-cara intimidatif, seperti yang diperagakan rezim Orde Baru ditinggalkan, bukan dihidupkan lagi.

"Gaya ini jelas praktek yang lazim dilakukan di rezim otoritarian Orde Baru. Ini harus diusut tuntas," katanya.

Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Erwan Agus Purwanto juga menilai menggunakan Babinsa untuk menggalang dukungan politik, sama saja menghidupkan pola-pola ala Orde Baru yang jelas dulu merusak demokrasi.

"Jelas jika hal tersebut benar, (maka) tindakan tersebut mencederai praktik demokrasi di Indonesia karena menggunakan cara-cara represif dan intimidatif seperti zaman orba," katanya.

Namun Erwan yakin rakyat sekarang sudah pintar dan tidak akan takut dengan cara-cara intimidatif seperti itu. Panglima TNI harus mengambil tindakan tegas, bila memang ada jajarannya yang berpolitik, apalagi dengan cara-cara yang intimidatif.

Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, mengatakan, Babinsa yang merupakan tentara aktif bukan cuma dilarang memilih, tapi juga dilarang tidak netral pada pasangan capres-cawapres tertentu.

Jika SBY tidak mengambil tindakan nyata, sebatas mengimbau yang memantik kepanikan, patut diduga pernyataan SBY hanya alibi untuk menghindari tuduhan bahwa dirinya membiarkan TNI tidak netral.

"Cara-cara ala Orde Baru ini tidak boleh terulang. Bawaslu harus ambil sikap dan tindakan," kata Hendardi.

Ketua Pengurus LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie juga sependapat. Menurut Abdul Hamim, pengerahan Babinsa untuk kepentingan politik, adalah pola Orde Baru yang coba dihidupkan lagi.

Peristiwa itu tak bisa dibiarkan. Panglima TNI harus turun tangan, karena itu persoalan serius. Harus dibongkar juga komando pengarahnya.

"Bila memang Babinsa itu mengarahkan warga untuk pilih Prabowo coba usut  dari mana. Siapa aktor intelektualnya harus diusut. Jadi jangan hanya Babinsanya yang diberi sanksi tegas tetapi juga aktornya. Babinsa tidak mungkin melakukan tanpa komando. Bawaslu perlu pro aktif mengusut peristiwa itu," katanya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anas Bersyukur Dapat Dukungan Dari Akbar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler