jpnn.com - JAKARTA - Politisi PDIP yang duduk di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Arif Budimanta menilai ada pihak-pihak yang memolitisi rencana Bank Mandiri mengakuisisi Bank Tabungan Negara (BTN). Menurutnya, akuisisi sebenarnya hal wajar sepanjang prosesnya transparan dan akuntabel.
"Transparansi dan tata kelola yang baik menjadi syarat utama. Akuisisi tidak masalah. Aspirasi menolak akuisisi saat ini sarat dengan aroma politisasi," kata Arif di Jakarta, Minggu (27/4).
BACA JUGA: Harga Cabai Rawit tak Pedas Lagi
Arif menambahkan, sejumlah pihak sengaja melakukan manuver politik dengan memanfaatkan rencana akuisisi BTN oleh Bank Mandiri. Bentuknya antara lain berupa aksi massa yang dikaitkan dengan momen pemilu presiden.
Namun, mantan Direktur Megawati Institute itu justru melihat manuver tersebut kontraproduktif dan jmerugikan BTN maupun Bank Mandiri sebagai perusahaan publik. “Karena nantinya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," kata Arif.
BACA JUGA: Beban Puncak Listrik Jawa-Madura- Bali Pecahkan Record
Karenanya Arif menegaskan, politisasi harus dikesampingkan. "Jangan kaitkan dengan kontestasi politik," ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Menurut dia, penolakan sejumlah pihak terhadap rencana akuisisi itu tidak masuk akal. Sebab, akuisisi tidak akan mengubah struktur serta fungsi dan peran strategis BTN sebagai bank yang fokus di perumahan.
BACA JUGA: OJK Respons Akuisisi Bank
"Melalui akuisisi ini diharapkan BTN akan memiliki kapasitas modal dan pendanaan yang semakin besar untuk mengatasi kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan (backlog) perumahan yang terus meningkat setiap tahun," ujarnya.
Saat ini, katanya, backlog (angka kebutuhan rumah) sudah mencapai sekitar 15 juta. Angka itu diperkirakan akan terus membengkak hingga 21,9 juta unit pada 20 tahun ke depan. "Untuk mengatasi problem perumahan itulah BTN perlu diperkuat dan dibesarkan," imbuh Said.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tips Sukses Wirausaha: Tiru Elang
Redaktur : Tim Redaksi