jpnn.com, JAKARTA - Wahana Lingukangan Hidup Indonesia (WALHI) menggelar aksi menolak Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) di depan Gedung DPR, Kamis (9/7).
Tampak massa menggelar aksi simbolis dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) buatan dan membawa disinfektan ke lokasi. Setalah itu massa menggelar teatrikal dalam aksi kali ini.
BACA JUGA: Ada Ataupun Tidak Covid-19, RUU Cipta Kerja Penting Untuk Tekan Angka Pengangguran
Mereka menyemprotan disinfektan buatan ke arah foto Gedung DPR. Sebab, massa dari WALHI menilai DPR terjangkiti virus oligarki setelah melihat Omnibus Law RUU Ciptaker terus dibahas.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana menyebut aksi kali ini untuk meminta DPR menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Ciptaker.
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Diyakini Akan Membuat Ekosistem Investasi di Daerah Meningkat
Setidaknya terdapat beberapa alasan sehingga WALHI meminta pembahasan aturan itu ditunda. Satu di antaranya, kata Wahyu, pembahasan aturan itu dianggap cacat prosedur.
Pembentukan aturan itu tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang 12 Nomor Tahun 2011.
BACA JUGA: Sekjen KAHMI Optimistis RUU Cipta Kerja Mampu Menekan Angka Pengangguran
"Secara garis besar kami minta pembahasan RUU Omnibus Law dihentikan lantaran menurut kami cacat prosedur di dalam mekanisme pembentukan drafnya," kata dia saat dihubungi awak media, Kamis.
Selain cacat prosedur, kata Wahyu, substansi aturan itu banyak bermasalah. Misalnya aturan itu tidak berpihak kepada kelestarian lingkungan.
Berdasarkan kajian WALHI, Omnibus Law RUU Ciptaker ini malah memuat semangat melindungi investasi dengan menghapus beberapa ketentuan krusial dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Secara subtansi pun demikian, cacat juga, baik problem terhadap lingkungan atas nama HAM-nya, lebih-lebih dia juga bertentangan dengan konstitusi," lanjut Wahyu.
Wahyu menambahkan, berdasarkan catatan WALHI terdapat 31 pasal yang kembali dimasukan ke draf Omnibus Law RUU Ciptaker, padahal aturan itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Bahkan tanpa Omnibus Law saja, pemerintah dan DPR cenderung mengabaikan konstitusi, hukum, dan tidak jarang menabrak regulasi, bisa dilihat bagaimana pada kasus penetapan Ibu Kota Negara (IKN), kasus-kasus kriminalisasi, dan berbagai aturan regulasi yang diubah hanya untuk menyediakan karpet merah bagi korporasi," tutur Wahyu. (mg10/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan