jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah menerapkan banyak strategi baru untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Di antara skenario baru itu adalah melarang perokok untuk melamar CPNS di lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pos-pos pekerjaan bidang kesehatan di pemerintah daerah.
Gagasan itu disampaikan langsung oleh Menkes Nafsiah Mboi. Teknis saringannya akan dibahas dengan panitia pengadaan CPNS baru. Dia mengaku geram terhadap komitmen tidak merokok oleh masyarakat Indonesia yang masih lemah.
BACA JUGA: CT Siap Rangkap Jabatan Lima Menteri
Padahal cara-cara ekstrim sudah dilakukan. Seperti mencantumkan gambar penyakit-penyakit akibat menghisap rokok di bungkus rokok. "Jangan terima pegawai-pegawai (PNS) kesehatan yang perokok. Malu-malukan saja," katanya di sela acara penghargaan Lomba Sekolah Sehat di Jakarta, Senin (18/8).
Menurutnya masyarakat perlu edukasi yang baik untuk tidak merokok. Nafsiah mengaku prihatin ketika ada pegawai kesehatan yang menyerukan stop merokok, padahal dia sendiri perokok.
BACA JUGA: Saksi Beberkan Anas Beli Rumah Rp 3,5 M
Usulan untuk menolak lamaran CPNS untuk perokok rencananya diterapkan dulu di lingkungan Kemenkes. Kemudian diharapkan menular ke pemerintah daerah yang juga menerima tenaga medis. Meliputi posisi atau formasi dokter, perawat, bidan, dan sejenisnya.
Menurut Nafsiah budaya merokok di Indonesia begitu akut. Di lingkungan sekolah saja misalnya, anak-anak SD sudah mulai merokok. Ia menyayangkan para guru yang seharusnya menjadi teladan malah menjadi perokok aktif. Celakanya para guru sering ditemukan merokok di lingkungan sekolah.
BACA JUGA: Pelamar CPNS Siapkan Scan Ijazah dan KTP
Nafsiah berujar bahwa peningkatan komitmen tidak merokok itu harus dijalankan keroyokan lintas kementerian. Menurutnya upaya ini tidak bisa dipasrahkan sepenuhnya ke Kemenkes saja. "Edukasi untuk tidak merokok perlu sistematis dan teratur," tandasnya.
Terkait dengan data perokok belia ini, Nafsiah mengutip hasil riset kesehatan dasar (rikesdas) 2013. Dalam riset itu terungkap bahwa 18,3 persen anak usia 15-19 tahun adalah perokok. Dia mengaku ngeri melihat fakta perokok belia itu. "Wajar saja jika nanti banyak kasus stroke di usia 30 tahun sampai 40 tahun," paparnya.
Dampak lain dari masih tingginya perokok di Indonesia adalah, potensi kebangkrutan sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Dalam sistem asuransi massal yang dikelola Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu, Nafsiah mengatakan banyak ditemukan kasus penyakit tidak menular.
Nah, penyakit tidak menular itu salah satunya disebabkan oleh aktivitas merokok. Uang klaim dari BPJS Kesehatan bisa tersedot habis untuk membiayai pengobatan penyakit-penyakit yang sejatinya bisa dicegah. "Pesan saya jangan merokok, mengatur gizi, dan olahraga rutin," pungkasnya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendagri Berupaya Tekan Biaya Politik Pilkada
Redaktur : Tim Redaksi