Kemendagri Berupaya Tekan Biaya Politik Pilkada

Selasa, 19 Agustus 2014 – 01:01 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menanggapi serius rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut adanya tren kenaikan kasus korupsi di tingkat daerah. Dari 308 jumlah kasus yang ditangani aparat penegak hukum sepanjang Semester I Tahun 2004, disebut 97 kasus terjadi di tingkat pemerintah daerah.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, mengatakan, temuan ICW telah lama disadari Kemdagri. Karena itu pihaknya saat ini tengah merampungkan pola penataan otonomi daerah melalui perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi Undang-Undang Pemda dan UU Pilkada, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan RUU.

BACA JUGA: Serikat Pekerja Pahami Keputusan Dirut Pertamina Mundur

"Ini penataan otonomi daerah kita. Kalau tidak maka tidak ada artinya otonomi. Sekarang otonomi ramainya kepala daerah ditangkap. Mana soal pelayanan publik yang baik," katanya di Jakarta, Senin (18/8).

Birokrat yang akrab disapa Prof Djo ini mengatakan, salah satu akar korupsi di daerah akibat tingginya biaya politik. Dalam hal ini pemerintah pusat mencoba melakukan efisiensi demokrasi yakni membuat sekecil mungkin biaya politik di daerah.

BACA JUGA: Pengamat BUMN : Dirut Pertamina Hadapi Dilema

"Kita akan lakukan efisiensi biaya  untuk kandidat. Misalnya tidak boleh pasang-pasang iklan atau baliho. Nanti itu di bawah pengaturan KPU yakni tempat-tempat tertentu," ujarnya.

Kemudian dalam aturan, katanya juga akan ada pelarangan kampanye dalam bentuk rapat umum terbuka. Dengan demikian setiap kandidat hanya diperbolehkan melakukan rapat terbatas dalam kampanye pilkada.

BACA JUGA: Pengawas Internal Pemda Diubah jadi Perangkat Pusat

"Itu akan penghematan lagi. Efisiensi demokrasi. Tidak hanya di ekonomi tapi juga demokrasi efiseiensi. Rapat umum nyewa artis dangdut. Supaya jangan keluar uang banyak. Akibatnya, nanti akan cari uang buat kembalikan modal," ujarnya.

Menurut Prof Djo, dengan pemangkasan biaya politik di daerah maka kepala daerah akan lebih berkonsentrasi pada pembangunan daerah.

"Kita mengkaji pilkda ongkos tinggi maka kecenderungannya korupsi. Mark up barang dan jasa. Tidak perlu jual-jual izin kalau mau pilkada. Fokus melayani masyarakat," ujarnya

Selain pemangkasan biaya politik, penataan otonomi daerah juga dilakukan dengan penarikan beberapa kewenangan. Salah satunya kewenangan dalam pemberian izin tambang atau yang lainnya. Sebelunya kewenangan mengeluarkan izin-izin tersebut berada di kabupaten, dalam RUU Pemda ditarik menjadi kewenangan provinsi.

"Itu salah satu upaya mencegah korupsi di daerah. Kan lebih mudah pusat mengawasi 34 provinsi dibanding mengawasi ratusan kabupaten/kota," ujarnya.

Sebelumnya pada Minggu (17/8) kemarin, ICW merilis data kasus korupsi yang terjadi selama semester I tahun 2014. Hasilnya, dari 308 jumlah kasus yang ditangani aparat penegak hukum, pemerintah daerah menjadi instansi yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi yakni sebesar 97 kasus.

Disusul DPRD sebanyak 21 kasus, Dinas Pekerjaan Umum 20 kasus, kementerian dan Dinas Pendidikan yang masing-masing sebanyak 19 kasus.(gir/jpnn)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Tepis Kesaksian soal Dolar dari Nazar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler