Tolong..Cari Solusi Gaji Guru Honorer di Surabaya

Selasa, 04 Oktober 2016 – 10:05 WIB
Honorer. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - SURABAYA - Peralihan SMA/SMK dan pendidikan masih menimbulkan masalah lain.

Salah satunya juga membebani anggaran provinsi. Badan Anggaran (Banggar) DPRD Jatim telah melakukan konsultasi ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hasilnya, gaji guru honorer tak masuk anggaran provinsi.

Anggota Banggar DPRD Jatim Muhammad Sirot sudah menghitung anggaran untuk SMA/SMK. Ternyata, dibutuhkan Rp 1 triliun lebih. I

BACA JUGA: Tak Lagi Gunakan Istilah Full Day School tapi...

tu belum termasuk gaji guru honorer yang mencapai 9 ribu orang.

 "Gaji guru PNS kan sudah ditanggung pusat. Nah, guru honorer ini siapa yang nanggung," ujar wakil ketua Fraksi PKS itu.

Sirot menerangkan, keuangan provinsi sedang bermasalah. Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2017 mungkin minus Rp 1,8 triliun.

BACA JUGA: Ribuan Pelajar di Gunungkidul Belum Terjangkau KIP

 "Karena pemasukan di sektor pajak berkurang," papar anggota komisi E tersebut.

Pihaknya sedang mencari jalan keluar. Banggar meminta ada sharing anggaran atau berbagi beban.

Saat konsultasi dengan Kemenkeu, dia sudah bertanya apakah pemerintah bisa menutup anggaran untuk guru honorer. Namun, tampaknya belum bisa.

Berbagi beban anggaran juga bisa dilakukan dengan kabupaten/kota.

BACA JUGA: Guru Diminta Jangan Malas meski Honor Dipangkas

Terutama bagi daerah yang telah menerapkan pendidikan gratis 12 tahun. Misalnya, Surabaya dan Blitar.

 "Tentu kami tak mau sekolah gratis hilang. Tapi, mau dipaksa bagaimanapun, provinsi tak punya anggaran. Harus sharing," tegas politikus asal dapil Jatim VII (Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan Trenggalek) itu.

Selain gaji guru honorer, provinsi memiliki beban anggaran baru.

Yakni, soal pembentukan 31 cabang dinas. Cabang dinas itu memiliki kewenangan sebagai koordinator dan administrator SMA/SMK di daerah.

 Untuk membentuk cabang dinas sebanyak itu, diperlukan anggaran yang tidak kecil. Pemprov membutuhkan biaya operasional dan gedung.

Ketua Komisi E DPRD Jatim Agung Mulyono meminta kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Jatim untuk proaktif menanyakan hal itu ke pusat. Dengan demikian, ada pernyataan pasti yang bisa disampaikan kepada para guru honorer. "Jangan nunggu. Harus proaktif," jelas politikus Demokrat itu.

Pria asal Banyuwangi itu menerangkan, komisinya bakal memanggil Dispendik Jatim pada 20 Oktober. DPRD berniat membantu mencari solusi atas pertemuan tersebut.

Sementara itu, Ketua Forum Honorer Kategori II Indonesia (FHK2I) Jawa Timur Eko Mardianto mengungkapkan kekhawatiran para koleganya.

 "Keputusan pemindahan guru lintas kota dalam provinsi tersebut jelas meresahkan kami. Apalagi dengan status kami sebagai guru honorer yang tidak seberuntung teman-teman PNS," ungkap dia.

Eko menyampaikan, pemindahan tersebut jelas akan semakin memberatkan nasib guru honorer.

Sebab, keputusan pemindahan itu secara otomatis akan memperbesar pengeluaran guru.

Saat ini mayoritas guru sudah berkeluarga. Jika berpindah di kabupaten/kota, tentu kemungkinannya guru pulang-pergi setiap hari atau menyewa rumah di tempat dia ditugaskan.

"Itu jelas butuh biaya banyak," jelasnya.

Dia menyebut, saat ini mayoritas guru honorer di Jatim memiliki gaji di bawah UMR masing-masing wilayah kabupaten/kota.

Bahkan, beberapa di antaranya cukup mengenaskan. Di Probolinggo misalnya, gaji kategori K-2 di sana hanya berkisar Rp 500 ribu per bulan.

Kasus minimnya upah tersebut juga terjadi di banyak kabupaten di Jatim.

Eko menyampaikan, secara khusus dilema perpindahan antarkabupaten/kota juga disampaikan guru tidak tetap atau honorer di Kota Surabaya.

Sebab, gaji honorer di Surabaya kini mencapai UMR. Itu tidak terjadi di seluruh kabupaten/kota di Jatim. "Jadi, Surabaya tambah ketir-ketir," ucapnya.

Untuk itu, Eko menyampaikan, kini FHK2I segera merancang skema usulan yang akan disampaikan kepada gubernur Jatim.

Dalam rancangan itu, FHK2I mendesak Pemprov Jatim untuk segera memperhatikan kesejahteraan tersebut.

Eko menyebutkan, ada dua skema dalam rancangan tersebut. Pertama, menentukan aturan upah sesuai UMR masing-masing wilayah kabupaten/kota.

Kedua, menentukan upah minimum serentak yang penyesuaiannya dilakukan masing-masing DPRD kabupaten/kota. "Untuk skema kedua, modelnya subsidi silang. Pemkot bisa membantu kekurangan dana yang ditentukan provinsi dengan penyesuaian UMR masing-masing," jelasnya. (sal/elo/puj/c6/dos/flo/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kecewa Banget..Anak Kuli Kayu Tidak Dapat KIP


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler