jpnn.com - SEMARANG – MPR RI menyelenggarakan Sosalisasi Empat Pilar MPR RI dengan berbagai metode penyampaian yang efektif. Salah satunya Training for Trainers (ToT) atau pelatihan untuk pelatih.
Dalam setiap kegiatan, MPR sangat membutuhkan feed back positif atau output positif dari kegiatan serap aspirasi yang digelar ke berbagai provinsi di Indonesia.
BACA JUGA: INGAT! MK Bukan BPS
Ouput positif dari para peserta dari berbagai kalangan masyarakat ini akan menjadi bahan kajian di MPR RI dan akan menghasilkan sebuah rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk ditindaklanjuti secara baik. Sebagai contoh pemunculan kembali haluan negara seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Hasil serap aspirasi masyarakat di berbagai daerah menunjukkan bahwa sebagian besar menginginkan sebuah haluan negara untuk menjaga kontinuitas pembangunan nasional.
BACA JUGA: BKKBN: Komitmen TNI Sangat Kuat
Sekarang wacana haluan negara atau GBHN dalam masa pengkajian intensif di MPR dan tidak menutup kemungkinan akan segera dilaksanakan melalui amandemen kembali UUD 1945.
Pada penyelenggaraan ToT di Jawa Tengah dengan peserta dari kalangan dosen perguruan tinggi swasta dan negeri se-Jawa Tengah, Jumat (22/4 ) lalu, diketahui bahwa banyak sekali masukan dan gagasan bahkan kritik tentang sistem ketatanegaraa Indonesia. Antara lain, masukan datang dari Eddy Prabowo, dosen Universitas Stikubank Semarang.
BACA JUGA: Laskar Umat Islam Tuntut Ruhut Sitompul Dipecat
Eddy menyampaikan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Ia berpandangan bahwa dalam kehidupan bernegara, Pancasila hanya berperan dan berkedudukan sebagai dasar negara bukan sebagai ideologi atau pandangan hidup.
Pandangan Eddy ini dlihat dari perjalanan sejarah terbentuknya Pancasila, terutama dalam proses persidangan hari pertama BPUPKI tanggal 29 April 1945. Saat itu, Ketua Sidang BUPKI KRT Radjiman bertanya apakah dasar negara Indonesia nanti?
Yang ditanyakan adalah dasar negara bukan yang lain, sehingga dalam proses persidangan hanya disepakati judul Pancasila sebagai dasar negara belum isi Pancasilanya. Selanjutnya, tanggal 1 Juni 1945 hanya disepakati nama dasar negara yakni Pancasila saja.
Pancasila sebagai dasar negara, menurut Eddy berimplikasi kepada penyebutan pilar yang sering diucapkan MPR RI dalam sosialisasinya bahwa Pancasila adalah pilar seharusnya dasar negara. Perbedaan pendapat peserta ini mendapat argumentasi tandingan oleh peserta lain yakni Muhammad Junaedi, dosen Universitas Semarang.
Junaedi menyanggah apa yang disampaikan peserta sebelumnya soal Pancasila, pilar dan dasar negara.
Menurut Junaedi, tidak diperlukan lagi perdebatan soal pilar atau dasar. Karena pada praktiknya MPR RI adalah sebuah lembaga konstitutif. Kedudukan sebagai lembaga konstitutif. Artinya MPR harus menjaga prinsip-prinsp bernegara itu diimplementasikan dengan baik.
Munculnya istilah pilar itu hanya sekadar mencoba untuk mendudukan posisi bangsa itu di empat aspek bukan kemudian mengubah tatanan atau pola bahwa UUD atau yang lain disejajarkan dengan Pancasila.
“Intinya kita sudah selesai dengan perdebatan istilah dasar atau pilar. Karena kalau kita terus mempermasalahkannya akan menjadi sebuah polemik yang menghabiskan energi bangsa,” tegasnya.
Peserta lain, Estiningrum, dosen Universitas Wijaya Kusumah Purwokerto mengatakan bahwa pernah memiliki satu kegelisahan soal masuknya Pancasila sebagai pilar oleh MPR RI. Kegelisahan ini bukan milik para akademisi saja, tapi rakyat kebanyakan juga.
Estiningrum mengungkapkan bahwa dirinya pernah membuat satu gambaran pemahaman kepada rakyat kebanyakan soal apa maknanya Pancasila dan pilar berbangsa. Gambaran itu seperti ini, di suatu daerah ada sebuah pendopo besar. Pendopo besar itu ditopang oleh empat pilar yang menyangga kuat pendopo tersebut.
Dari pilar-pilar tersebut, ada satu pilar yang berbeda paling dihormati. Adat daerah tersebut menyampaikan sesaji hanya dibawah pilar tersebut.
“Itu gambaran saya kepada masyarakat agar masyarakat bisa memahami, tapi apakah gambaran saya ini terlalu berani atau tidak saya juga serahkan kepada masing masing penilaian,” ujarnya.
Argumentasi-argumentasi peserta ini merupakan potret demokrasi sebagai warga negara Indonesia. Kiprah berbagai elemen masyarakat untuk andil untuk bersama-sama membuat sistem ketatanegaraan dan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dibutuhkan.(Adv/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI Dorong Pertumbuhan Penduduk yang Seimbang
Redaktur : Tim Redaksi