jpnn.com - JAKARTA- Sistem trader kertas yang ada sekarang diusulkan untuk dihapus karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal. Terlebih, ketika nanti konsep aggregator gas yang tujuannya untuk memperkuat gas dalam negeri diberlakukan.
“Trader kertas yang terjadi saat ini membuat rantai tata niaga menjadi panjang. Konsumen sangat dirugikan karena harga gas menjadi sangat tinggi,” kata Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean, Kamis (1/10).
BACA JUGA: Menperin: Tingkatkan Kualitas Kopi Nusantara
Menurut Ferdinand, dalam trader kertas seperti saat ini, banyak rantai tata niaga yang sebenarnya tidak perlu ada. Misalnya, ia mencontohkan, BUMD-BUMD di berbagai daerah yang secara “tiba-tiba” menjadi menjadi perantara gas tersebut.
Menurutnya, para perantara tersebut sebenarnya tidak memiliki peran apapun. Sebab, tanpa mereka pun sebenarnya gas bisa langsung dijual ke konsumen. "Mereka itu sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan. Keberadaannya sangat merugikan,” ujarnya.
BACA JUGA: DPR Pertanyakan Usulan Dividen BUMN Rp 34 Triliun
Di sisi lain, Ferdinand mengatakan, idealnya hanya satu BUMN yang menjadi aggregator gas. Sebab, sesuai konsepnya aggregator akan meliputi seluruh kegiatan dari hulu ke hilir. Dengan hanya satu aggregator gas, maka akan meningkatkan bargain position Indonesia, terutama karena perannya di sektor hulu.
Ferdinand menambahkan bahwa sebaiknya yang menjadi agregator gas merupakan BUMN murni. Karena dengan demikian, tidak akan ada kepentingan asing yang mendompleng di dalam aggregator gas.
BACA JUGA: Menperin: Ngopi Bareng Gairahkan Industri Kopi Dalam Negeri
Sayangnya, salah satu di antara dua BUMN yang digadang-gadang dalam RUU Migas untuk menjadi agregator gas, justru 47 persen sahamnya dikuasai asing. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gara-gara 3 Bank Pelat Merah, Anggota DPR ini Kehilangan Muka
Redaktur : Tim Redaksi