Tradisi Unik, Warga di Desa Ini Dilarang Jual Beras

Rabu, 14 September 2016 – 00:06 WIB
Berpegang teguh pada tradisi leluhur, dipercaya membuat kehidupan masyarakat adat Cisungsang sejahtera. Jumat (9/9). Foto: Supri/Radar Banten/JPNN.com

jpnn.com - MASYARAKAT Kasepuhan Adat Cisungsang memiliki tradisi unik. Warga di sana dilarang menjual beras atau padi. Mereka diwajibkan memiliki leuit atau lumbung untuk menyimpan padinya. Mengapa? 

Supriyono - Serang Banten

BACA JUGA: Dibedaki, Disisir, Direbahkan...Darah Segar Mengalir

MASYARAKAT Adat Kasepuhan Cisungsang dan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul lain meyakini tradisi tidak menjual beras sebagai petuah ajaran leluhurnya. 

Bagi mereka, padi atau beras adalah simbol keberkahan dan kesejahteraan.

BACA JUGA: Elus-elus Dulu Kepalanya biar Tenang, tak Perlu Pakai Parang

Mereka sangat menghormati padi atau pare sebagai kebutuhan pangan sehari-hari. 

Karenanya, secara rutin mereka menggelar ritual seren taun sebagai puncak bertani.

BACA JUGA: Super! Kerap Ditendang Sapi, Kini jadi Wisudawan Terbaik

Meyakini hal tersebut, membuat setiap keluarga diwajibkan memiliki leuit untuk menyimpan hasil panen. 

Lantaran itu, leuit menjadi salah satu ornamen yang berjajar indah di setiap pekarangan atau halaman desa yang berjarak 150 kilometer dari Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.

Bangunan leuit berbentuk rumah panggung, berbahan lempengan kayu segi empat. 

Sementara, atapnya meruncing ke atas membentuk segi tiga. 

Biasanya, leuit akan berjajar di halaman samping, belakang, atau depan rumah warga setempat. Tak jarang, leuit dibangun di sebelah pematang sawah. 

Dari larangan menjual padi sampai kewajiban memiliki leuit itulah prosesi seren taun sudah dijalankan selama 700 tahun lebih. 

“Seren taun itu puncak perayaan panen di akhir dan awal tahun. Dimaknai juga sebagai pesta semua warga untuk berkumpul bersama dengan Ketua Adat dan masyarakat luar yang ikut datang. Sebagai pesta maka jangan sampai ada orang yang datang tidak makan,” kata Henriana Hatra Wijaya, Sekretaris Adat Kesepuhan Cisungsang.

Menurutnya, padi sangat dihormati. Dalam bahasa masyarakat Cisungsang dipusti. Namun, tidak berarti mempertuhankannya. 

Mereka tetap meyakini keberkahan diturunkan dari Tuhan lewat padi sebagai kebutuhan pokoknya. 

“Padi itu bagi kami sangat istimewa sebagai lambang keberkahan, leluhur kami mengajarkan untuk menghormatinya seperti anak, istri, atau keluarga,” kata pria yang akrab disapa Abah Henri.

Selain menjaga kebutuhan pokok sehari-hari di masa yang akan datang, larangan menjual padi membuat masyarakat Cisungsang juga memiliki solidaritas dan budaya gotong royong tinggi.

“Hanya boleh untuk konsumsi saja, jadi kami tidak boleh menjual. Makanya kalau ada yang datang, kami wajib menyuguhkan makanan. Jangan sampai datang ke sini terus pulang ada bahasa lapar,” kata pria kelahiran 43 tahun silam ini.

Untuk menyimpan padi tersebut, masyarakat diwajibkan memiliki leuit (lumbung padi). Tidak ada ketentuan pasti untuk ukuran leuit, luasnya disesuaikan dengan kebutuhan. 

Namun, rata-rata setiap leuit yang dimiliki masyarakat dapat menampung sekira dua ribu hingga tiga ribu pocong pare atau ikat padi. Per ikat padi memiliki berat mencapai sekira tiga kilogram. 

Menurut Henri, dari padi juga penjagaan tradisi tetap dilestarikan kepada generasi mudanya.

Medianya melalui prosesi adat seren taun yang dijalankan melalui pakem-pakem tradisi yang sudah ada, tetapi tetap dikombinasikan hiburan masa kini di luar acara adat. 

“Ini agar anak mudanya yang kenal teknologi tidak menolak. Ini strategi kami. Tidak ada seren taun tanpa padi, tidak ada padi tanpa petani,” katanya.

Namun, kata Henri, peran Abah Usep sebagai Ketua Adat sangat melekat dalam penjagaan tradisi Kasepuhan Cisungsang. Bahkan, Ketua Adat direpresentasikan sebagai perwakilan leluhur. 

“Kalau tidak ada komunikasi lagi masyarakat dengan ketuanya maka bubar sudah. Tidak ada tradisi yang dipertahankan, makanya ada balik tahun yang mewajibkan masyarakat Desa Cisungsang balik kampung,” ujarnya.

"Itu ruh yang jadi konsepnya. Hubungan kita dengan orangtua kan komunikasi. Kalau enggak komunikasi hubungan apa kita ini? Makanya setiap masyarakat Cisungsang pergi selalu menghadap Abah, dan saat seren taun mereka wajib balik untuk berkumpul dan mendengarkan petuah ketua adat untuk satu tahun ke depan,” imbuh pria yang juga berprofesi sebagai guru di salah satu SMP di Kebupaten Lebak.

Ia menjelaskan sistem penanaman padi di sawah dan huma yang dipraktikkan masyarakat Kasepuhan Cisungsang. 

Penanaman padi di sawah mengandalkan air yang berasal dari sungai dan mata air dari leuweung titipan (hutan titipan). 

Hutan yang pantang dimasuki masyarakat karena terdapat sumber mata air sebagai sumber kehidupan. 

Sedangkan di huma mereka hanya mengandalkan air yang berasal dari hujan (tadah hujan). 

Secara berurutan masa bercocok tanam dimulai dari numpang goleng (membuat pematang), ngabaladah (menyiangi lahan), ngambangkeun (mengisi lahan dengan air/merendam), ngangler (membersihkan permukaan lahan dari gulma yang tumbuh sebagai persiapan untuk tebar), tebar (membuat persemaian padi dengan cara menebar untaian padi), dan tandur (menanam padi).

Selanjutnya, ngarambet (membersihkan gulma yang ada di sawah), babad galeng (membersihkan rumput di pematang sawah), dibuat (panen) - ngalantay (menjemur padi di lantayan), mocong pare (mengikat padi menjadi pocong), dan ngunjal (mengangkut padi ke leuit/lumbung). 

Pegawai Adat Kasepuhan Cisungsang Ewan Hermawan menambahkan, dari proses tersebut, kemudian para rendangan (perwakilan kasepuhan) akan melakukan pertemuan dengan Ketua Adat untuk membicarakan seren taun. 

“Setelah ada keputusan tanggal pelaksanaan, baru menginjak seren taun atau rasul paredileit (permulaan seren taun-red). Di situ udah mulai ada hiburan kesenian seperti doglor lojor, angklung bihun, rengkong, celempung. Baru puncaknya saat seren taun iring-iringan orang yang membawa simbol padi dengan diiringi musik tradisional,” kata pria yang akrab disapa Ewang ini.

“Di situ baru prak-prakan atau carita-carita (wejangan ketua adat-red) seren taun dengan mendengarkan petuah abah sebagai Kesepuhan Cisungsang. Petuah menyukuri keberkahan atas hasil panen dan petuah untuk perjalan setahun yang akan datang,” imbuhnya. (ken/mg25/asp/alt/ags/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dulu Jualan Soto Ayam Keliling, Sekarang Omzet Miliaran Rupiah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler