Trump Masih Beri Iran Kesempatan Bertobat

Minggu, 15 Oktober 2017 – 06:23 WIB
Presiden Donald Trump di Sidang Umum PBB. Foto: AFP

jpnn.com, WASHINGTON - Dari Diplomatic Reception Room di Gedung Putih, Donald Trump mengumumkan bahwa AS tetap mempertahankan kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), tapi enggan memberikan nilai positif.

Artinya, JCPOA tetap akan berjalan selama kongres AS mengkaji ulang. Batas waktunya 60 hari. Setelah itu, Trump berhak membatalkan keterlibatan AS dalam JCPOA atau melanjutkannya dengan revisi di beberapa bagian.

BACA JUGA: Trump Mulai Utak-atik Nuklir Iran

’’Partisipasi kita (dalam alias JCPOA) bisa saya batalkan kapan pun karena saya presidennya,’’ kata Trump pada Jumat lepas tengah hari waktu setempat (13/10) atau dini hari kemarin WIB, Sabtu (14/10).

Presiden AS punya wewenang untuk mengakhiri JCPOA. Tiap 90 hari sekali, presiden AS harus meninjau dan menilai komitmen Iran terhadap kesepakatan penting tersebut. Jika Iran melenceng, AS berhak mengakhiri kesepakatan.

BACA JUGA: Kongres Akan Buka Iklan Facebook Pesanan Rusia di Pilpres AS

Trump Mulai Utak-atik Nuklir Iran

Memilih bertahan dalam JCPOA, namun dengan catatan, menunjukkan bahwa Trump setengah hati menepati janjinya. Saat kampanye pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu, pria 71 tahun itu bersumpah akan mengakhiri JCPOA.

BACA JUGA: Gol Kontroversial Panama Bikin Amerika Serikat Berduka

Dia menegaskan bahwa kesepakatan yang dicapai pada era pemerintahan Presiden Barack Obama tersebut tidak menguntungkan AS. Dia bahkan menyebut kesepakatan itu sebagai kesalahan besar yang harus segera diperbaiki.

Dalam pidatonya, Trump mengaku masih memberikan kesempatan kepada Iran untuk berubah. Sebab, meskipun tetap berkomitmen pada JCPOA, nilai Iran di mata Trump kurang.

Dalam sektor nonnuklir, Iran punya banyak nilai minus. Salah satunya tak mampu mengendalikan Garda Revolusi alias Iran’s Revolutionary Guard Corps (IRCG) yang diyakini Trump mendukung terorisme.

Trump berharap kongres melahirkan regulasi baru yang lebih ketat. Yakni, perundang-undangan yang menyinggung program rudal balistik dan terorisme. Dua hal itu sama sekali tidak diatur dalam JCPOA.

Jika kongres AS nanti tidak menghasilkan regulasi baru yang lebih tegas dan berisi ketentuan tentang dua hal tersebut, Trump akan langsung mengakhiri JCPOA.

Sebenarnya, Trump tidak bisa seenaknya mengakhiri kesepakatan tersebut. Sebab, selain AS, banyak pihak lain yang ikut membidani lahirnya JCPOA.

Jerman, Inggris, Prancis, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa (UE) ikut sibuk menggodok regulasi terkait dengan nuklir Iran selama sekitar 18 bulan sebelum akhirnya JCPOA diteken pada 2015. Sejauh ini, mereka menginginkan kesepakatan berlanjut.

Dari Kota Teheran, Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan kekecewaan terhadap Trump. Kemarin, Sabtu (14/10) dia mengatakan bahwa Iran akan tetap menepati komitmen dalam JCPOA.

Meskipun AS tidak menganggap sikap Iran sebagai bentuk kepatuhan, dia akan tetap bertahan. ’’Kami tidak akan mundur dari kesepakatan itu,’’ tandasnya.

Rouhani menyayangkan sikap Trump yang justru akan menjadi bumerang bagi AS tersebut. ’’AS sedang mengisolasi diri mereka sendiri. Mereka akan menjadi lebih kesepian ketimbang sebelumnya,’’ lanjut pemimpin 68 tahun tersebut.

Melalui pernyataan tertulis, Rouhani mengimbau AS untuk meninjau ulang keputusan Trump tersebut dan memikirkan dampaknya terhadap pertahanan keamanan.

Lebih lanjut, Rouhani mengatakan bahwa JCPOA bukanlah perjanjian bilateral antara AS dan Iran. Banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Karena itu, suara AS saja tidak cukup kuat untuk mengakhiri kesepakatan tersebut.

Apalagi, Jerman, Inggris, dan Prancis memilih tetap bertahan dalam JCPOA. ’’Apakah bisa seorang presiden membatalkan traktat internasional yang disepakati banyak negara?’’ kritiknya.

Sementara itu, Jerman yang sejak awal memperingatkan Trump agar tidak gegabah dalam menyikapi JCPOA mulai khawatir. Sebab, di tengah krisis nuklirnya dengan Korea Utara (Korut), AS justru memantik krisis baru dengan Iran.

Alasannya pun masih sama, nuklir. ’’AS telah mengirimkan sinyal yang berbahaya dan sulit dipahami,’’ kata Menteri Luar Negeri Sigmar Gabriel kepada radio Deutschlandfunk. (AP/Reuters/BBC/hep/c19/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jasa-Jasa Kurdi yang Dilupakan Washington


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler