Tuhan Keliling Kampung Berburu Ayam

Kamis, 10 September 2015 – 06:07 WIB
Tuhan. Foto: Jawa Pos Group

"Tuhan, Kita Begitu Dekat". Kalau ada yang membacakan puisi karya Abdul Hadi W.M. itu di Jember sekarang, barangkali dia akan ditanya, "Tuhan yang mana ya, Mas?"
-----------
RULLY EFENDI-RANGGA MAHARDHIKA-JOHN SOHIB, Jember
-----------
Barangkali lho ya. Sebab, ternyata ada begitu banyak "Tuhan" di sana. KPU Jember yang melakukan verifikasi data untuk keperluan pemilihan kepala daerah (pilkada) menemukan sebelas Tuhan yang memiliki hak pilih. Dengan Tuhan sebanyak itu, bayangkan, siapa yang bakal berani main politik uang di sana?

Hehehe...tentu saja yang dimaksud adalah orang-orang bernama Tuhan. Temuan di Jember tersebut berlipat-lipat banyaknya dari Tuhan di kabupaten tetangganya, Banyuwangi, yang belum lama berselang memicu kehebohan itu.

BACA JUGA: Kok Nama Anak Cuman Satu Huruf? Ini Kata Ayahnya

Seperti ditulis Jawa Pos Radar Jember, latar belakang para Tuhan tersebut beragam. Mereka rata-rata tak tahu persis alasan orang tua masing-masing memberi nama yang membelalakkan mata itu. Yang pasti, mereka yakin mengandung doa.

Yang pasti pula, mereka tuwuk (kenyang) nama mereka dijadikan bahan guyonan. Tentu saja "penderitaan" tersebut juga dialami orang-orang terdekat. Tuhan yang tinggal di Dusun Karanganyar, Desa Balung Lor, Kecamatan Balung, contohnya.

BACA JUGA: Kambing Dianggap Keramat, Makan Dagingnya bisa Bikin Celaka

Dia menceritakan bagaimana Nurul, seorang anak perempuannya, pernah mengaku teman-temannya takut mengganggunya. "Jangan macam-macam sama Nurul, nanti dikutuk Tuhan," ujarnya menirukan ledekan teman-teman si anak.

Kendati tak pernah tahu alasan orang tuanya, pria kelahiran 4 Juli 1945 tersebut sebenarnya tidak pernah merasa aneh dengan nama tersebut. Apalagi, dulu, semasa kecil, orang-orang di sekitarnya biasa menyebut Sang Maha Esa sebagai Pengeran.  Bukan dengan sebutan Tuhan seperti saat ini.

BACA JUGA: Trump Bilang 10 Menit Lagi, Eh...Kursi Ketua DPR Malah Bergoyang

Karena itu pula, pensiunan PT KAI Daop IX Jember tersebut tak pernah merasa terganggu setiap kali diledek. Apalagi, anak pertama di antara lima bersaudara pasangan (almarhum) Sidam dan (almarhumah) Tukirah itu punya dua adik laki-laki dengan nama mirip.

"Nama saya Tuhan, adik saya Tuhar dan Tohari," jelasnya saat ditemui di kediamannya.

Tuhan lainnya sehari-hari bisa ditemui di pasar dekat tempat bermukimnya di Desa Tutul, Kecamatan Balung. Di KTP-nya memang tertulis dia petani. Tapi, belakangan dia lebih aktif sebagai pedagang ayam.

Setiap hari pria dua anak itu rajin ke pasar untuk menawarkan dagangan. Sepulang dari pasar, Tuhan yang satu ini juga masih harus keliling kampung untuk berburu ayam.

"Semua orang tahu kalau nama saya Tuhan. Kadang sering juga dijadikan bahan guyonan," tuturnya.

Dia tak secara spesifik menyebutkan guyonannya seperti apa. Tapi, mungkin saja, setiap kali dia lewat, ada tetangga atau kenalan yang nyeletuk, "Katanya Tuhan, kok masih nyari ayam?"

Meski sering diledek, seperti juga Tuhan di Banyuwangi, pria kelahiran 1 Juli 1951 tersebut tak mau namanya diganti. "Karena saya yakin nama itu doa sekaligus harapan orang tua," jelasnya.

Nah, Tuhan yang satunya lagi ini agak sulit dicari. Bukan karena dia tengah sibuk mengurusi umat, eh maaf, maksudnya pekerjaan. Tapi, karena sehari-hari dia tidak dipanggil dengan nama lahirnya itu.

Warga sekitar tempat tinggalnya di Dusun Krajan, Kelurahan Slawu, Kecamatan Patrang, biasa memanggilnya Pak Farida. Farida adalah nama anak pertamanya. Memanggil seseorang dengan nama anak pertama adalah tradisi yang juga bisa dijumpai di sejumlah tempat di Jawa.

Tuhan di Slawu itu, bicaranya, agak keras. Sebab, kemampuan pendengarannya sudah agak berkurang. "Tuhan ya Allah. Jadi, ya (justru) baik namanya," ujar Tuhan sembari menunjuk ke atas.

Karena itu, buruh tani dari Krajan tersebut juga menolak rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengganti dan menambah namanya. Wong selama 65 tahun hidupnya memakai nama Tuhan, dia merasa tidak pernah punya masalah. Juga, lantas dikutuk jadi jambu monyet, misalnya.  

Sang anak, Anik, pun mengaku tak terbebani dengan nama sang bapak. Meski, sejak kecil dia tahu bahwa Tuhan itu berarti Sang Maha Pencipta. "Ya biasa saja, seperti nama orang lainnya," jelasnya.

Masih ada delapan Tuhan lainnya di Jember yang sepertinya juga merasa baik-baik saja dengan nama mereka. Setidaknya sampai verifikasi KPU Jember selesai, mereka tak berniat ganti nama.  

Bisa jadi argumen mereka serupa: Yang di Atas saja tak murka, kok yang di bawah pada repot. (*/JPG/bersambung/c10/ttg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah di Balik Pemberian Nama Happy New Year, Andy Go To School, dan Rudy A Good Boy


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler