Tujuh Tahun Daniel Rudi Sutradarai Film Dokumenter tentang Terorisme

Sabar Ngobrol 14 Jam dengan Teroris Bom Bali di Nusakambangan

Selasa, 24 Mei 2011 – 08:08 WIB

Tak semua sutradara bisa melakukan seperti yang dilakukan Daniel Rudi HaryantoDia adalah sosok penting di balik film dokumenter tentang terorisme berjudul Prison and Paradise

BACA JUGA: Putu Maitri, Peraih Nilai Unas Tertinggi Nasional untuk SMA

Untuk membuat film tersebut, dia butuh waktu tujuh tahun
Jerih payahnya seakan terbayar ketika film itu diputar dalam sebuah festival film kelas dunia di Dubai, 12 Desember lalu

BACA JUGA: Geram Kelompok 78, Wartawan Lempari Televisi


 
AINUR ROHMAH, Jogjakarta

SALAH satu yang membuat film tersebut istimewa adalah ada adegan wawancara eksklusif dengan para pelaku utama bom Bali 2002
Selain itu, jika menyaksikan film tersebut, penonton akan mempunyai cara pandang baru dalam menyikapi terorisme.
 
Itulah kesan ketika Jogja Raya (JPNN Group) diberi kesempatan oleh Rudi menyaksikan film yang menjadi salah satu pembuka dalam Festival Film Internasional Dubai, 12 Desember 2010, tersebut

BACA JUGA: Balik ke Rumah, Keluarga Korban Salah Tembak Dijaga Ketat Bak Orang Penting

Sabtu lalu (21/5), Jogja Raya menemui sutradara berusia 33 tahun itu di sebuah kafe di Jogja
 
Dalam film tersebut, ada adegan yang menggambarkan dua kondisi yang paradoksMisalnya, ketika menampilkan sosok Noor Huda IsmailDia adalah pengamat terorisme dan jebolan NgrukiPandangan hidup serta kehidupan yang dia lakoni berbeda dari para pelaku terorisme yang juga sama-sama jebolan NgrukiNoor yang juga penulis buku berjudul Temanku Teroris itu pernah menjadi wartawan di The Washington Post dan sekarang mengaku menjadi muslim moderat
 
Sosok Noor tersebut berbeda dari Ali Imron, Amrozi, dan Imam Samudera yang telah diganjar hukuman mati karena mengotaki bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai 240 lainnya"Aneh kan" Kenapa mereka bisa sangat berbeda padahal akarnya sama (dari Ponpes Ngruki, Red)?" ujar Rudi
 
Dalam film itu, Rudi yang lulusan IKJ (Institut Kesenian Jakarta) tersebut mengambil angle yang lain daripada yang lainJika dalam teror semua orang membicarakan kejadian dan aktor yang terlibat, pada film tersebut, yang dipotret adalah hal-hal yang lebih substansialYaitu, dampak bom bunuh diri terhadap keluarga pelaku, terutama anak-anak mereka"Bagaimana cara pandang para teroris itu yang akhirnya merugikan orang-orang terdekat mereka," papar Rudi

Menurut dia, cara pandang itu sangat terkait dengan latar belakang terorisMisalnya, pendidikan dan lingkunganContohnya, dalam satu adegan, Imam Samudera berkata lugas bahwa aksinya itu tidak akan bisa dipahami orang-orang yang menyebut dirinya sekulerSementara itu, dari sudut pandang Noor, teroris itulah yang tidak memahami esensi Islam
 
Akar perdebatan sebenarnya satuYaitu, perbedaan cara pandang tentang jihad dan terorismeJika teroris menganggap terorisme berarti jihad, Noor memandang keduanya tidak bisa dihubungkanPerbedaan itu semakin tajam seiring dengan pengalaman hidup masing-masingJika setiap hari teroris belajar jihad dengan mengangkat senjata, Noor yang notabene juga jebolan Ngruki itu berjihad dengan cara membahagiakan keluarga, yakni dengan menjadi jurnalis media asing.
 
Akhirnya, perbedaan itu pun terlihat dalam kehidupan sehari-hariMisalnya, dalam film tersebut digambarkan bagaimana Noor menikmati saat-saat bersenda-gurau dengan anaknya yang masih balitaSi istri duduk manis di sampingnya sambil sesekali ikut merapikan kereta api mainanSuasananya adem ayem, menandakan bahwa hidup mereka sempurna.
 
Sementara dalam adegan berikutnya, penonton harus bersiap mengelus dada karena mendengar ucapan pelaku terorisme dari balik jeruji besiJika Noor dengan santai bermain kereta api bersama anaknya, Ali Imron berkata dengan santai bahwa dirinya tidak pernah mendampingi istrinya melahirkan"Dua anak saya lahir tanpa saya dampingi," ujarnya

Meski dia mengaku tahu bahwa sebenarnya dalam Islam kewajiban suami, antara lain, melindungi keluarganya.  Begitu pula ketika istri Ali Imron, Nissa, bersama anaknya, Azzah Rohidah, ditanya kesannya selepas mengunjungi abi (panggilan ayah untuk Ali Imron) di Nusakambangan pada 2007Nissa terlihat jengah, lalu mengatakan bahwa Azzah tidak sekalipun menyapa abi-nyaMenurut perempuan bercadar itu, Azzah mungkin marah karena bapaknya tidak pernah mengunjunginya.
 
Penggalan-penggalan film berdurasi 93 menit tersebut merujuk pada satu halYaitu, korban terorisme bukan hanya keluarga dan mereka yang tewas terkena ledakan bom, tapi juga keluarga teroris itu sendiri"Kebanyakan teroris yang saya temui tidak memberitahukan kegiatannya kepada keluarganya," ungkap Rudi
 
Film penuh ironi itu pun dikemas dalam dua kata, yaitu prison (penjara) dan paradise (surga)Jika bagi pelaku terorisme bom bunuh diri adalah jalan menuju surga, itu bertolak belakang dengan anggapan keluarga mereka dan keluarga korban"Dampak terorisme itu membawa mereka pada penjara dunia," tambah Rudi
 
Bagaimana tidak, keluarga korban harus menanggung kesusahan karena tulang punggung keluarga meninggalSementara itu, bagi keluarga teroris, mereka harus menanggung beban seumur hidup atas tindakan yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya.
 
Prison and Paradise merupakan film independen berdurasi panjang pertama bikinan RudiTidak mudah membuat film itu"Saya wawancara dengan mereka (teroris) di Nusakambangan selama 14 jam," tuturnya
 
Jarang yang bisa "tahan" dengan keadaan ituKalau kru lain sudah menyerah, Rudi sendirian masuk ke sel dan mendengarkan ocehan Imam Samudera yang katanya ahli cuci otak tersebut"Kalau mereka mengatakan sebagai aktivis jihad, saya aktivis penentang Orba (Orde Baru)," kata sutradara yang bekerja sama dengan Yayasan Prasasti Perdamaian untuk membuat film tersebut
 
Rudi memang dikenal sebagai aktivis masa Orde BaruDia dianggap radikal oleh rezim Soeharto dan sempat ditangkap lantas diinterogasiDia juga ikut mengotaki demonstrasi 27 Juli 1996 dan jatuhnya rezim Soeharto 1998.
 
Dia memulai pembuatan film tersebut pada 2003 di BaliBeberapa bulan setelah para teroris ditahan, dia meng-interview merekaPada 2007, Rudi mengambil gambar keluarga para terpidana mati ketika ke Jakarta"Noor Huda yang menghubungkan saya dengan keluarga teroris," jelasnyaPada 2010, Rudi merampungkan filmnya.
 
Waktu pembuatan yang lama itu terbayar dengan diputarnya Prison and Paradise pada premiere Dubai International Film Festival (DIFF)Dalam website-nya, DIFF dijelaskan sebagai ajang bergengsi bagi sineas di Timur Tengah, Asia, dan AfrikaSejak diadakan (2004) sampai sekarang, hanya film Garin Nugroho dan Rudi yang pernah masuk ke DIFF
 
Dalam waktu dekat, Rudi dan Prasasti Perdamaian mengadakan road show film Prison and Paradise di 36 kota di IndonesiaDi antaranya, Bali, Ambon, Solo, Banten, Medan, Aceh, Poso, Pontianak, dan BorneoMereka juga akan mengunjungi berbagai macam pesantren, baik yang "shoft" maupun yang "hard"Film tersebut belum tayang di bioskop-bioskop di Indonesia, tapi malah sudah diputar di kota-kota di India dengan dana dari VIBGYOR
 
Selain dijadikan pembuka dalam DIFF, film itu mendapat penghargaan di Official Selection Asia Pacific Screen Award 2011, meraih award dalam Festival Film Dokumenter Jogja 2010, dan menjadi film pembuka dalam Cindi (Cinema Digital) Film Festival di Korea Selatan 2011(jpnn/c5/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkenang Makan 4 Menit hingga Makan Bareng Daging Ular


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler