jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih berharap Mendikbud Nadiem Makarim mampu menyelesaikan berbagai masalah yang menghantui bidang pendidikan Indonesia.
“Ini bukan sekadar kursi menteri yang akan diduduki Mas Nadiem, tetapi juga meja dengan setumpuk pekerjaan rumah di depannya,” ujar Fikri, Kamis (24/10).
BACA JUGA: Nadiem Makarim Ambil Buku Favoritnya, Bicara Pendidikan Karakter, Wouw!
Salah satu yang menjadi tugas berat Nadiem dan diamanatkan langsung presiden adalah sektor pendidikan dan peningkatan kualitas SDM, khususnya menghadapi dunia kerja. Selain itu, presiden menegaskan, kemampuan dasar anak-anak Indonesia harus terus dibangun, mulai dari pendidikan usia dini dan dasar.
Terutama untuk meningkatkan kemampuan literasi, matematika dan sains, sehingga menjadi pijakan bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan anak di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
BACA JUGA: PR Mendikbud Nadiem Makarim Sangat Banyak dan Mendesak
Menurut Fikri, presiden kelihatannya mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018 yang menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia sebesar 6,99 juta orang, atau 5,34 persen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 131,01 juta jiwa.
Dari jumlah tersebut, lulusan SMK menganggur tercatat 11,24 persen, sementara lulusan SMA menganggur mengambil porsi 7,95 persen.
Melihat data tersebut, Fikri menilai pemerintah menyadari ada target yang meleset dalam program lima tahun ke belakang. Terutama terkait revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai solusi untuk menciptakan SDM siap kerja, sekaligus menekan angka pengangguran.
Pasalnya diketahui, jumlah penganggur dari kalangan lulusan SMK masih cukup besar.
“Anehnya lagi, lulusan SMK malah lebih banyak menganggur ketimbang lulusan SMA,” ungkap politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Fikri mensinyalir hal itu karena minimnya daya serap lapangan kerja yang cukup bagi lulusan SMK yang digenjot selama lima tahun terakhir.
“Jumlah lulusan terus bertambah, tetapi yang menyerap tidak ada karena tidak ada koneksi, link and match antara kebutuhan di industri dengan jurusan yang tersedia,” ungkapnya.
Dia menambahkan tantangan selanjutnya bagi mendikbud adalah bagaimana direktorat SMK punya data berapa jumlah kebutuhan industri sebenarnya, baru kemudian jurusan yang sesuai dibuka.
Selain masalah SMK, kata Fikri, masih terdapat kesenjangan kesempatan bersekolah dan menikmati infrastruktur pendidikan yang sudah digelontorkan APBN dalam lima tahun terakhir. Data Panitia Kerja Sarpras pendidikan dasar & menengah di Komisi X DPR pada 2018 menemukan, masih terdapat 1,3 juta ruang kelas (75 persen dari total 1,8 juta) di seluruh Indonesia yang rusak.
“Dan karena keterbatasan anggaran yang kita miliki, butuh 10 tahun lamanya agar seluruhnya bisa diperbaiki,” imbuh Fikri.
Masalah pemerataan pun tidak kalah besar. Menurut data neraca pendidikan daerah 2016 oleh Kemendikbud, anggaran pendidikan dalam APBD hanya dianggarkan kurang dari 10 persen di 33 provinsi.
“Bahkan di Papua hanya 1,4 persen,” tegas Fikri.
Padahal, perundang-undangan mewajibkan alokasi anggaran pendidikan di daerah minimal 22 persen.
Nah, kata Fikri, belum lagi bicara bagaimana kondisi di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Belum soal jutaan anak di Indonesia yang putus sekolah. Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 2019 mencatat, saat ini masih terdapat 4,5 juta anak di Indonesia putus sekolah.
“Terlepas dari data tesebut campuran atau tidak, angka partisipasi kasar atau murni, tetapi ini merupakan realita terkini kondisi anak usia sekolah di Indonesia,” ujar Fikri.
Bongkar pasang kebijakan di sektor pendidikan dalam lima tahun terakhir juga kerap meramaikan kontraversi di kalangan peserta didik dan masyarakat. Mulai dari isu penghapusan UN, penerapan full day school, sampai metode zonasi pendidikan yang dikritisi banyak pihak.
“Setiap kali kebijakan setting-nya bikin kontroversi, tidak ada sosialisasi dulu, jadi ke depan sebaiknya dihindari,” ujarnya.
Selain itu, kata dia lagi, PR besar Kemendikbud lainnya terkait rencana strategis kementerian, yang tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Rencana induk, grand design pendidikan kita belum ada. Belum jelas arah pendidikan kita berorientasi pada akademik, profesi atau vokasi?,” imbuh Fikri.
Terkait guru sebagai kunci pencetak SDM berkualitas, tiap tahunnya diperkirakan ada 70 ribu orang yang memasuki masa pensiun, sedangkan pemerintah masih menerapkan kebijakan ketat terhadap pengangkatan ASN.
Selain itu, pemerintah daerah terus ditekan agar tidak mengangkat tenaga honorer baru. Kebijakan ini dinilai saling bertentangan dengan kondisi lapangan, yakni kurangnya tenaga guru di sekolah. Bahkan, mantan Mendikbud Muhajir menyarankan untuk memperpanjang masa kerja guru yang telah pensiun.
“Masalah-masalah ini sudah cukup kompleks untuk diselesaikan oleh siapa pun menterinya. Diperlukan komitmen yang besar untuk menjalankan amanat konstitusi, yakni pemerataan pendidikan, kualitas pendidikan, serta pemenuhan anggaran sebesar 20 persen dari APBN," pungkasnya.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy