Salah satu tunjangan COVID di Australia, JobKeeper, tidak sesuai dengan peruntukannya, karena mengalir ke ribuan perusahaan yang omzetnya berlipat ganda.
Data yang diperoleh ABC menunjukkan nilai uang yang diterima perusahaan-perusahaan tersebut mencapai 6 miliar dolar atau sekitar 60 triliun rupiah untuk periode Juni-September 2020.
BACA JUGA: Hari Ini Pak Jokowi ke Lampung, Ada Erick Thohir di Lis Rombongan
Tunjangan JobKeeper senilai A$90 miliar (Rp900 triliun lebih) diluncurkan Pemerintah Australia dengan tujuan agar perusahaan-perusahaan swasta tidak memberhentikan karyawannya selama pandemi.
Perusahaan-perusahaan ini memenuhi syarat untuk menerima tunjangan setelah mereka melakukan sendiri estimasi penurunan omzet, namun pada kenyataannya penurunan itu tidak pernah terjadi.
BACA JUGA: Yang Berani Mencopot Kain Merah di Pekuburan COVID-19 Ini Bakal Celaka
"Gagasan bahwa kita harus memberikan uang pajak kepada perusahaan yang pendapatannya naik dua atau tiga kali lipat merupakan hal yang tercela," ujar Dr Andrew Leigh dari Partai Buruh yang beroposisi.
"Ini merupakan penyalahgunaan uang rakyat yang mencolok yang mungkin terjadi di negara diktator, bukan dalam perekonomian yang dikelola dengan baik seperti Australia," kata anggota House of Representative (DPR) ini.
BACA JUGA: Hengky Kurniawan Sampaikan Kabar Baik, Alhamdulillah...
Perusahaan dengan omzet berlipat ganda dan diketahui menerima tunjangan JobKeeper kini terus mendapat tekanan publik untuk mengembalikan uang tersebut ke kas negara.
Salah satu perusahaan jaringan retail, Harvey Norman, minggu ini mengumumkan telah mengembalikan uang sebesar A$6 juta (Rp60 miliar) setelah menjadi sorotan selama berbulan-bulan.
ABC sebelumnya melaporkan satu dari enam perusahaan penerima JobKeeper ternyata tidak mengalami penurunan omzet dalam tiga bulan pertama skema ini. Nilai uang negara yang tersalurkan mencapai A$4 miliar (Rp40 triliun).
Data dari Komisi Anggaran Parlemen mengungkapkan hampir 20.000 dari perusahaan-perusahaan penerima JobKeeper mengalami kenaikan omzet tiga kali lipat, namun memperoleh tunjungan A$370 juta selama tiga bulan.
Sebanyak 15.000 perusahaan lainnya mengalami kenaikan omzet dua kali lipat namun menerima tunjangan JobKeeper sebanyak A$320 juta.
Kenaikan (April - June 2020)
Perkiraan pembayaran JobKeeper (April - June 2020)
0-1 persen
A$138 juta
1-10 persen
A$1.15 miliar
10-50 persen
A$2.03 miliar
50-100 persen
A$599 juta
100-200 persen
A$322 juta
200+ persen
A$368 juta
"Ini jelas merupakan pemborosan terbesar uang rakyat dalam sejarah Australia," kata Dr Leigh.
"Tujuan Parlemen menyetujui program ini bukan untuk memberikan tunjangan kesejahteraan kepada perusahaan yang pendapatannya naik dua atau tiga kali lipat," ucap mantan profesor ekonomi pada Australian National University ini.
Sebagian besar perusahaan dengan omzet di bawah $1 miliar per tahun perlu menunjukkan atau memprediksi penurunan omzet 30 persen untuk bisa mendapatkan tunjangan JobKeeper.
Pemerintah kemudian mengubah syarat penurunan omzet menjadi 50 persen untuk perusahaan besar dan 15 persen untuk badan amal.
Setelah suatu perusahaan memenuhi syarat awal untuk tunjangan JobKeeper, mereka pun terus menerima pembayaran hingga sekitar akhir September, ketika syarat penurunan omset berubah.
Namun, skema JobKeeper tidak memasukkan mekanisme pengembalian dana ke kas negara, apabila perusahaan penerima ternyata mengalami keuntungan.
Skema tunjangan JobKeeper berlangsung mulai 30 Maret 2020 dan berakhir pada 28 Februari 2021, termasuk dua kali perpanjangan sejak September 2020. Tanggapan pemerintah
Partai Buruh telah melobi perusahaan-perusahaan ini untuk mengembalikan dana tersebut.
Namun dalam wawancara dengan program TV ABC, Bendahara Negara (Treasurer) Josh Frydenberg membela tidak adanya mekanisme pengembalian dana tersebut.
"Jika perusahaan harus mengembalikan uang itu, berarti mereka tidak perlu mengambilnya sejak awal dan akibatnya orang akan kehilangan pekerjaan," katanya.
Treasurer Frydenberg mendukung keputusan pemerintah mengizinkan suatu perusahaan menerima tunjangan JobKeeper berdasarkan prediksi penurunan omzet.
"Jika kami (pemerintah) tidak melakukan hal itu, kami tidak akan pernah mengeluarkan uang," katanya.
"Jika kita kembali pada bulan Maret tahun lalu saat kami meluncurkan JobKeeper, kita menatap ke dalam jurang ekonomi. Armagedon ekonomi," ucapnya.
Lebih dari 150.000 perusahaan mengalami kenaikan omzet selama kuartal April-Juni tahun 2020. Sekitar setengahnya masih terus mengalami kenaikan omset selama kuartal Juli-September.
Perusahaan yang omzetnya naik selama kedua periode ini menerima tunjangan sekitar A$6 miliar.
"Kita tidak menyelamatkan pekerjaan dengan cara membayar uang ke perusahaan yang pendapatannya meningkat. Perusahaan seperti itu akan selalu mempertahankan karyawan mereka," kata Dr Leigh.
"Membayar uang tunjangan yang masuk ke kantong miliarder pemegang saham dan para jutawan CEO tidaklah menyelamatkan pekerjaan para karyawan," tambahnya.
Frydenberg mengatakan, banyak perusahaan yang menerima JobKeeper memang "sangat membutuhkannya".
"JobKeeper adalah program yang sangat berhasil, tepat sasaran dan benar-benar berkontribusi besar dalam pemulihan ekonomi," katanya.
Dr Andrew Leigh memperoleh data JobKeeper ini dari Komisi Anggaran Parlemen.
Komisi Anggaran Parlemen sendiri mendapatkannya dari Kantor Pajak Australia (ATO) yang mengelola pembayaran tunjangan JobKeeper.
Reserve Bank Australia sebelumnya memperkirakan bahwa tunjangan JobKeeper telah menyelamatkan 700.000 pekerja.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Vaksin Moderna dengan Bercak Hitam Kembali Ditemukan di Jepang