jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung yakin 100 persen bahwa tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa perkara korupsi ASABRI Heru Hidayat sah menurut hukum, meski tidak sesuai dengan pasal yang didakwakan.
Sejumlah fakta baru yang terungkap dalam persidangan jadi dasar jaksa menuntut hukuman lebih berat.
BACA JUGA: Terdakwa Kasus Asabri Menolak Dianggap Koruptor
Argumen hukum tersebut merupakan bagian dari tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pleidoi Heru Hidayat.
"Di dalam perkara aquo terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa sedangkan pemberatan di Pasal 2 UU Tipikor termuat di dalam ayat 2," kata Kapuspenkum Kejaksaaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keteranganya, Kamis (16/12).
BACA JUGA: Tolak Hukuman Mati, Kubu Heru Hidayat Sebut ASABRI Belum Rugi
Menurut Leonard, langkah jaksa sesuai dengan pandangan ahli Satjipto Rahardjo dengan teori hukum progresif-nya.
Dalam teori tersebut, hukum tidak hanya dimaknai secara tekstual saja,
BACA JUGA: Jaksa Agung Sebut Heru Dituntut Mati Agar Megakorupsi ASABRI Tak Pernah Terulang Lagi
"Sehingga pemaknaan terhadap asas ultra petitum partium dapat diberikan pemaknaan lain dengan menggunakan teknik-teknik penemuan hukum guna mendapatkan keadilan yang sesuai dengan keadilan dalam masyarakat," katanya.
"Pada pemeriksaan perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materiel. Sehingga hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut," tambahnya.
Leonard pun mengingatkan bahwa tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus perkara sesuai dengan tuntutan jaksa.
"Putusan hakim kasus pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan publik. Sehingga putusan ultra petita dibenarkan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik," jelasnya.
Loenard juga mengutip pendapat Van Apeldoorn yang menyebut bahwa hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit di masyarakat.
Selain itu, masih menurut Van Apeldoorn, hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang bila perlu.
"Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat, sehingga putusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana 'werkelijkheid' yang menyimpang dari hukum dalam suasana 'positiviteit'," jelasnya.
Leonard pun memberikan contoh perkara suap sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi dengan terpidana Susi Tur Andayani.
Dalam putusannya hakim memutus pasal yang berkualifikasi delik berbeda dengan pasal yang tercantum di dalam surat dakwaan.
"Selain dari perkara tersebut, masih terdapat putusan pengadilan yang lain, yang mana Hakim dalam memutus perkara diluar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa," katanya.
"Demikian halnya penggunaan pasal 63, 64 dan 65 KUHP yang dalam praktik peradilan sering digunakan meskipun tidak dicantumkan dalam surat dakwaan," tambahnya.
Oleh karena pasal-pasal tersebut merupakan pemberatan dan bukan merupakan unsur delik, lanjut Leonard lagi, maka sifatnya sama dengan apa yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil