Tutup Telinga

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 17 September 2021 – 08:37 WIB
Presiden Joko Widodo. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dalam budaya Jepang dikenal kisah tradisional mengenai ‘’Tiga Monyet Bijaksana’’ bernama Mizaru, Iwazaru, dan Kikazaru.

Tiga monyet itu mempunyai kekhasan masing-masing. Mizaru tidak mau melihat setan, karena itu dia menutup matanya.

BACA JUGA: Viral, Santri Tutup Telinga saat Mendengar Musik, Kiai Maman Bicara Hukum Islam

Iwazaru tidak mau berbicara seperti setan, karena itu dia menutup mulutnya.

Kikarazu tidak mau mendengarkan suara setan, karena itu dia menutup kupingnya.

BACA JUGA: Santri Tutup Telinga Ketika Ada Musik, Wasekjen MUI Bilang Begini

Trio monyet bijaksana ini menjadi kisah yang populer di Jepang dan dikaitkan dengan filosofi Buddha. Aksi tiga monyet itu merupakan tindakan spiritual untuk menjaga kebersihan jiwa, dengan cara menghindarkan mata, mulut, dan telinga dari perbuatan maksiat.

Dari kisah tiga monyet itu kemudian lahir pribahasa yang sangat dikenal di dunia Barat, yaitu ‘’See No Evil, Speak No Evil, Hear No Evil’’ (tidak melihat setan, tidak berbicara seperti setan, tidak mendengar suara setan).

BACA JUGA: Irwan Fecho: Pak Jokowi, Jangan Tutup Telinga Atas Aspirasi Masyarakat Kaltim

Tiga monyet yang menutup mata, mulut, dan telinga itu menjadi ikon budaya dan spiritual yang dikenal luas di budaya Asia Timur.

Di Indonesia, kisah tiga monyet itu mungkin tidak terlalu terkenal seperti di Jepang. Namun, beberapa hari terakhir ini di jagat maya Indonesia beredar luas gerakan tutup telinga mirip tiga monyet Jepang itu.

Parodi tutup telinga itu viral di media sosial dan beredar luas di berbagai grup percakapan Whatsapp.

Parodi tutup telinga di Indonesia ini terasa punya muatan protes politik yang kuat, karena parodi itu menggambarkan orang-orang yang ramai-ramai menutup telinga, dan bersamaan dengan itu terdengar audio suara mirip Presiden Jokowi sedang berpidato.

Salah satu parodi itu menggambarkan dua orang yang sedang duduk di sofa sambil menutup telinga rapat-rapat. Audio yang muncul memperdengarkan suara mirip pidato Presiden Jokowi, yang mengatakan dia rindu didemo. Video ini berdurasi 43 detik.

Video lainnya menggambarkan seseorang sedang merendam kakinya di kolam renang sambil menutup telinga. Video berdurasi 44 detik itu menggambarkan seorang laki-laki berkopiah mirip santri.

Terdengar background audio pidato mirip suara Presiden Jokowi yang mengatakan di kantongnya ada Rp 11 ribu triliun. Dalam video itu digambarkan laki-laki itu beberapa kali muntah-muntah.

Video lainnya berdurasi 33 detik, menggambarkan sekitar 30 anak muda yang duduk bersila di lantai, mirip jemaah pengajian.

Namun, anak-anak muda itu semua menutupi telinganya dengan tangan. Bersamaan dengan itu terdengar suara mirip pidato Presiden Jokowi yang mengatakan di kantongnya ada uang Rp 11 ribu triliun.

Dalam beberapa hari terakhir ini banyak sekali beredar parodi tutup telinga. Tidak terhitung berapa banyak parodi yang beredar dengan berbagai versi. Bersamaan dengan itu muncul juga tantangan membuat video tutup telinga yang dinamai ‘’Tutup Telinga Challenge’’.

Selama ini, berbagai macam challenge sudah banyak diumumkan di media sosial. Ada yang unik dan sekadar fun atau lucu-lucuan, ada juga yang benar-benar tantangan yang menguji nyali. Namun, kali ini yang muncul adalah challenge yang kuat aroma politiknya.

Sudah banyak netizen yang menyambut tantangan itu dengan membuat berbagai versi parodi tutup telinga.

Ahli filsafat Rocky Gerung termasuk salah satu yang menyambut challenge itu. Dia membuat video parodi tutup telinga dengan durasi 38 detik. Latar belakang suara terdengar pidato mirip Jokowi yang mengatakan punya uang Rp 11 ribu triliun.

Gerung memakai celana pendek dan hem lengan pendek sambil duduk di teras rumah yang terbuka. Kelihatannya teras itu adalah teras rumah Gerung di Bojong Koneng, Bogor, yang sedang disomasi oleh Sentul City untuk segera dibongkar dan dikosongkan.

Parodi ini bermunculan berawal dari video yang viral pada 13 September, yang menggambarkan sejumlah santri menutup telinga sambil menunggu antrean vaksin.

Latar belakang suara memperdengarkan seorang ustaz yang mengatakan bahwa anak-anak itu adalah santri tahfiz (penghafal) Al-Qur'an, yang sedang antre vaksinasi.

Karena di lokasi vaksinasi diputar musik, para santri itu serentak menutup telinga beramai-ramai. Dalam tradisi tahfiz Al-Qur'an, mendengarkan musik, atau mendengarkan hal-hal yang tidak berguna, dianggap bisa mengganggu konsentrasi hafalan.

Merespons video ini, Staf Khusus Kepresidenan Diaz Hendropriyono membuat unggahan di Instagram pada akun diaz.hendropriyono, ‘’Kasian, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. There’s nothing wrong to have a bit of fun’’ (tidak ada yang salah dengan sedikit bersenang-senang).

Unggahan itu dikomentari oleh Deddy Corbuzier mastercorbuzier, ‘’Mungkin mereka lagi pakai airpod…Terganggu…Ya kaaan.

Unggahan bernada sinis semacam Diaz banyak bermunculan di media sosial. Para santri itu disebut sebagai salah didik, dan pada akhirnya akan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang tidak toleran. Malah, ada yang mengaitkan cara pendidikan santri tahfiz itu dengan kemungkinan munculnya gerakan terorisme.

Unggahan Diaz ini mendapat respons keras dari netizen karena dianggap sebagai bentuk ketidakpahaman dan miskonsepsi terhadap metode pendidikan Islam yang diterapkan dalam menghafal Al-Qur'an. Metode menghafalkan Al-Qur'an tidak sama dengan metode menghafal mata pelajaran lain, karena menghafal Al-Qur'an membutuhkan sikap totalitas dalam konsentrasi.

Selama proses penghafalan tidak boleh ada intrusi atau gangguan yang bisa merusak konsentrasi. Intrusi itu bisa datang dari indera seperti mata, mulut, dan telinga. Memandang hal-hal yang tidak berguna bisa menjadi maksiat yang merusak konsentrasi.

Membicarakan hal-hal yang tidak berguna, seperti bergunjing, adalah maksiat yang bisa merusak konsentrasi. Mendengarkan hal-hal yang tidak berguna juga berpotensi merusak konsentrasi dan membuyarkan hafalan.

Mendengarkan musik, hanya salah satu saja dari banyak hal yang dianggap tidak bermanfaat, yang bisa merusak konsentrasi.

Hal-hal yang tidak bermanfaat dan maksiat itu disebut sebagai bagian dari godaan setan. Karena itu para santri itu berusaha sekuat mungkin menghindari setan-setan yang muncul dari pandangan mata, ucapan lisan, pendengaran telinga.

Daripada tidak bisa berbicara yang baik, lebih baik diam. Daripada melihat hal yang maksiat lebih baik menutup mata atau menundukkan pandangan. Daripada mendengarkan hal-hal yang membawa maksiat lebih baik menutup telinga.

Para santri itu mirip dengan tiga monyet bijaksana yang mengamalkan ‘’See No Evil, Speak No Evil, Hear No Evil’’. Lebih baik tutup mulut, mata, dan telinga, daripada mendengar suara-suara nyinyir orang dungu, meminjam istilah Rocky Gerung.

Daripada mendengar suara-suara bohong yang tidak ada buktinya—misalnya uang Rp 11 ribu triliun--lebih baik tutup telinga rapat-rapat.

Presiden Jokowi yang menjadi sasaran parodi tutup telinga, sudah lama dianggap melakukan gerakan tutup telinga.

Ia, misalnya, dianggap tutup telinga terhadap tuntutan masyarakat yang memprotes pemecatan 57 penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bukan sekadar tutup telinga, Jokowi juga dianggap tutup mata dan tutup mulut, tidak bereaksi terhadap kasus itu. Apakah ini termasuk gerakan monyet bijaksana atau monyet plonga-plongo? Masyarakat bebas menilai dan berpendapat. It is a free country. Is it? (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler