jpnn.com, DAMASKUS - Pengumpulan bukti serangan senjata kimia di Syria kian sulit. Tim Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) yang dijadwalkan masuk ke Douma, Eastern Ghouta, Syria, Rabu (18/4) harus menunda kembali rencananya.
Sehari sebelumnya, terdapat baku tembak di dekat lokasi serangan yang akan diselidiki. Tim Keamanan PBB yang masuk ke Douma lebih dulu untuk menilai situasi malah ditembaki.
BACA JUGA: Presiden Prancis Disambut Unjuk Rasa di Parlemen Uni Eropa
’’Dirjen OPCW Ahmet Uzumcu mengatakan, kedatangan tim inspeksi ditunda setelah insiden itu,’’ ujar Duta Besar Inggris untuk OPCW Peter Wilson.
Situasi tidak memungkinkan. Padahal, OPCW harus berkejaran dengan waktu untuk mengambil sampel. Sebab, semakin lama tertunda, racun itu bisa terdegradasi dengan cepat dan hanya meninggalkan sedikit atau bahkan tanpa jejak.
BACA JUGA: Rusia Dituding Menghilangkan Bukti Serangan Kimia di Syria
Rencananya, mereka menuju ke rumah tiga lantai tempat banyaknya korban jiwa yang meninggal di ruang bawah tanahnya. Beberapa saksi menyebut bahwa silinder berisi klorin yang dipakai menyerang masih tertinggal di atap. Mereka juga akan mengambil sampel dari tanah, darah, urine, jaringan tubuh, dan wawancara dengan para saksi.
Kelompok White Helmet akan menunjukkan tempat para korban tewas dikubur secara masal. Lokasi penguburan disembunyikan agar jenazah para korban yang menjadi bukti utama tak dirusak.
BACA JUGA: Tim Pencari Fakta Serangan Kimia Tak Bisa Masuk Syria
Sangat mungkin baku tembak yang terjadi saat ini disengaja untuk mengulur waktu. Sebab, sejak awal Syria dan sekutunya, Rusia, berusaha menghilangkan barang bukti. Intinya, tidak boleh ada kebocoran.
Semua fakta terkait serangan senjata kimia ke Douma pada 7 April lalu harus ditutup rapat. Segala upaya dilakukan. Termasuk di antaranya mengintimidasi para petugas medis yang kali pertama menangani para korban.
Direktur Union of Medical Care and Relief Organisations (UOSSM) Dr Ghanem Tayara mengatakan bahwa pemerintah Syria mengambil sampel-sampel yang mereka ambil setelah serangan. Mereka juga dipaksa meninggalkan para pasien dan diminta untuk tutup mulut.
Militer Syria juga mengancam dengan menyatakan bahwa keluarga para petugas medis itu berada dalam bahaya jika mereka membuat pernyataan terbuka terkait serangan tersebut.
”Ada begitu banyak pasukan keamanan pasca serangan dan mereka secara terang-terangan mengintimidasi para dokter dan petugas medis,” terang Tayara seperti dilansir The Guardian. Polisi militer Rusia di lokasi juga banyak.
Selang beberapa jam setelah serangan yang diduga memakai bahan kimia itu, Jaish al Islam yang berkuasa di Douma memang sepakat untuk keluar dari kota tersebut. Karena itu, pasukan Syria dengan mudah masuk dan berada di lokasi.
Intimidasi pasukan keamanan Syria itu kian meningkat lima hari belakangan menjelang kedatangan OPCW.
Kecuali Tayara, semua petugas medis yang memberikan pernyataan meminta nama mereka tak disebut karena takut ancaman militer Syria akan menjadi kenyataan.
”Semua petugas medis yang meninggalkan Douma digeledah untuk mencari sampel,” terang Tayara yang kini telah berada di Turki.
Tujuh sampel diambil oleh militer Syria. Telepon genggam para petugas medis juga dicek satu per satu untuk memastikan tidak ada panggilan atau pesan yang bertujuan memberikan informasi ke luar.
Tayara menegaskan bahwa para petugas medis tidak pernah melihat serangan serupa seperti di Douma. Yang dijatuhkan oleh militer Syria adalah gas klorin dengan konsentrasi tinggi.
Para pasien pun kejang. Mereka mengeluarkan busa. Zat yang masuk itu memengaruhi sistem saraf pusat. Dia meyakini jumlah korban jiwa sesungguhnya jauh lebih banyak.
(sha/c6/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bombardir Syria, Presiden Macron Panen Pujian
Redaktur & Reporter : Adil