jpnn.com - Dalam hukum Islam ada mekanisme kompensasi yang diberikan kepada keluarga pembunuhan oleh sang pembunuh.
Kompensasi itu disebut sebagai ‘’diyat’’ atau dalam bahasa Indonesia biasanya disebut sebagai ‘’uang darah’’.
BACA JUGA: Begini Kata Nawawi KPK soal Tambang Emas Lukas Enembe
Uang ini diberikan sebagai kompensasi supaya pelaku pembunuhan terlepas dari tuntutan ‘’qishas’’ atau hukuman mati.
Besaran uang darah bermacam-macam.
BACA JUGA: KPK Bisa Saja Hentikan Kasus Lukas Enembe, Syaratnya Tersangka Meninggal
Di zaman Rasulullah, jumlah uang darah cukup besar, yaitu 100 ekor unta dengan syarat-syarat tertentu, misalnya unta dalam kondisi subur atau sedang bunting.
Di antara 100 unta itu, 10 unta disyaratkan berjenis jantan.
BACA JUGA: Pihak Lukas Enembe Jawab Pesan Jokowi, Sebut Jantung Bocor & Tambang Emas
Di era modern sekarang, uang darah bervariasi besarnya, bergantung pada keputusan pengadilan dan kesepakatan keluarga.
Nilainya bisa sampai 50 ribu riyal atau kurang lebih Rp 150 juta, atau bisa lebih besar lagi bergantung pada kasus antara korban dan pelaku.
Sistem tebusan uang darah tidak berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Akan tetapi, mekanisme uang darah terjadi--atau diakui--di Indonesia dalam bentuk yang lain.
Kompensasi yang dibayarkan oleh pemerintah untuk membayar kesalahan di masa lalu, bisa disebut sebagai ‘’uang darah’’.
Hari-hari ini publik sedang ramai memperbincangkan kasus korupsi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe.
Dia dijadikan tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena diduga menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar.
Kasus ini kemudian berkembang karena PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan) mengungkap aliran dana dari rekening Lukas Enembe kepada tempat perjudian atau kasino di luar negeri.
Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, Rp 560 miliar.
Uang setengah triliun lebih itu diduga sebagai pembayaran judi Lukas Enembe kepada kasino itu.
Sebuah bukti yang diberikan oleh LSM MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) menunjukkan Lukas Enembe dan rombongannya tengah bermain judi di sejumlah kasino di Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Tempat-tempat judi yang diduga menjadi langganan Lukas Enembe adalah di Solaire Resort and Casino di Manila, Genting Highland di Malaysia, dan Crockford di Sentosa Island, Singapura.
Kasus hukum ini berkembang menjadi isu politik, karena Menteri Mahfud MD kemudian sangat aktif mengomentari kasus ini.
Mahfud mengaitkan kasus hukum ini dengan kinerja Lukas Enembe yang dianggap tidak maksimal dalam memimpin Papua.
Mahfud kemudian mengungkap bahwa selama ini pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana otsus (otonomi khusus) kepada Papua sampai total mencapai Rp 1 triliun lebih.
Dana itu digelontorkan dalam kurun waktu 20 tahun sejak 2002. Dan separo dari dana itu digelontorkan pada masa pemerintahan Lukas Enembe sejak 2013.
Uang otsus ini oleh sebagian pengamat dianggap sebagai uang darah, karena diberikan sebagai kompensasi atas status Papua sebagai daerah otonomi khusus.
Uang darah itu diberikan sebagai kompensasi Papua yang selama puluhan tahun menjadi DOM atau daerah operasi militer rezim Orde Baru.
Jamak diketahui bahwa Papua—ketika itu bernama Irian Jaya—menjadi wilayah operasi militer Orde Baru karena munculnya gerakan-gerakan separatis, terutama Gerakan Papua Merdeka.
Kelompok ini sangat aktif melakukan perlawanan, baik melalui gerilya dan serangan sporadis terhadap pos-pos pertahanan, maupun perjuangan diplomasi di luar negeri.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 menandai sejarah baru di Irian Barat yang ketika itu disebut sebagai Papua Barat atau West Papua.
Referendum dilakukan untuk menentukan apakah Irian Barat bersedia bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka sebagai negara sendiri.
Pepera ini menjadi proyek politik besar bagi pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto yang baru disahkan oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada 1967.
Soeharto sedang melakukan politik banting setir dari era Orde Lama di bawah Soekarno yang cenderung anti-Barat.
Soeharto membawa Indonesia merapat ke Barat untuk mendapatkan bantuan keuangan untuk menata ekonomi yang ambruk semasa Soekarno.
Pepera yang seharusnya bebas ternyata banyak diwarnai oleh kecurangan dengan keterlibatan militer Indonesia di dalamnya.
Pepera yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai ‘’The Act of Free Choice’’ (Akta Pemilihan Bebas), ternyata menjadi ‘’The Act of No Choice’’ akta ‘’tidak ada pilihan lain’’ kecuali bergabung dengan Indonesia.
West Papua berganti nama menjadi Irian Barat semasa Soekarno, dan oleh Suharto diubah menjadi Irian Jaya.
Salah satu kebijakan awal Soeharto yang berdampak panjang yang menyangkut nasib rakyat Irian Jaya, adalah kontrak karya kepada Freeport, perusahaan penambangan emas milik Amerika Serikat.
Soeharto meneken kontrak karya jangka panjang pada 7 April 1967.
Untuk mengamankan investasi itu, Soeharto harus menjamin Irian Jaya tetap menjadi bagian Indonesia.
Oleh karena itu, Pemerintah RI harus mengamankan suara warga melalui Pepera.
Tanah Papua yang kaya raya akan emas, tembaga, dan berbagai mineral, harusnya menjadi jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Akan tetapi, kenyataannya berbanding 180 derajat.
Rakyat Papua tetap miskin dan selalu menduduki tempat terbawah dalam daftar wilayah miskin di Indonesia.
Soeharto mempertahankan Freeport ‘’at all cost’’, dengan segala cara dan harga, termasuk menjadikan wilayah Irian Jaya sebagai daerah operasi militer.
Tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi sejarah buram yang ditoreh Orde Baru di Irian Jaya.
Di era reformasi, pemerintah pusat melakukan rehabilitasi dengan mengembalikan nama menjadi Provinsi Papua.
Pemerintah pusat juga memberikan kompensasi dalam bentuk dana otonomi khusus sebagai uang darah.
Kondisi politik Papua yang rapuh membuat pemerintah pusat longgar dalam melakukan pengawasan.
Dana otsus yang sangat besar tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mengejar ketertinggalan Papua dari wilayah lain.
Muncul banyak dugaan bahwa dana otsus itu menjadi bancakan para elite politik di Papua.
Pemerintah pusat akhirnya kehilangan kesabaran, dan Lukas Enembe sekarang menjadi korbannya.
Mahfud MD menegaskan bahwa tindakan terhadap Enembe tidak berhubungan dengan politik.
Hal ini hanya retorika politik belaka, karena Mahfud justru mengungkit dana otsus yang selama ini dianggap tabu untuk diungkap.
Gaya hidup Lukas Enembe yang hedonistis menambah ramainya drama Papua ini.
Transfer setengah triliun untuk main judi di kasino luar negeri itu tidak bisa dibantah oleh tim penasihat hukum Lukas Enembe.
Tim penasihat hukum Enembe hanya bisa bertahan dengan mengatakan bahwa uang setengah triliun itu bukan uang APBN atau APBD, melainkan uang pribadi.
Dari mana pun uang itu berasal tentu menjadi pertanyaan moral bagi Lukas Enembe.
Ketika rakyat Papua masih hidup dalam kondisi miskin, ada elite pemerintah yang buang-buang uang dengan bermain judi.
Lukas Enembe mencoba melawan dengan mengulur-ulur jadwal pemeriksaan karena mengaku sakit.
Dia juga menggerakkan pendukungnya untuk melakukan demonstrasi besar-besaran.
Sangat mungkin kartu politik identitas akan dimainkan dengan memunculkan isu politik lama, termasuk tuntutan Papua Merdeka. (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror