Ujaran Kebencian dan Kekerasan Antimuslim di Sri Lanka

Senin, 12 Maret 2018 – 06:00 WIB
Polisi berjaga di sebuah rumah yang dibakar kelompok Buddha di Kota Kandy. Foto: AFP

jpnn.com, KANDY - Kata-kata memang lebih tajam daripada sebilah pedang. Bukan klise. Itu tampak di Distrik Kandy, Sri Lanka. Provokasi menggerakkan massa melakukan kejahatan yang masif. Hingga pecah kekerasan antimuslim di negeri tersebut.

Sehari sebelum kekerasan di Kandy, Senin (5/3), Amith Jeevan Weerasinghe mengunggah sebuah video di akun Facebook-nya. Weerasinghe menceritakan bahwa dirinya tengah menyebarkan pamflet di Kota Digana, Distrik Kandy.

BACA JUGA: Polisi Masih Buru Satu Terduga Anggota Muslim Cyber Army

Di kota tersebut, menurut dia, hampir tidak ada toko milik warga Sinhala. ”Kota ini menjadi kota yang hanya dimiliki muslim. Kita seharusnya menyadari hal ini sejak lama,” ujarnya seperti dilansir Al Jazeera.

”Jika ada orang Sinhala di Digana atau sekitarnya, datanglah.” Begitulah provokasi Amith yang warga Buddha beretnis Sinhala tersebut.

BACA JUGA: Soal MCA, MUI Sebut Wakapolri Pahami Perasaan Umat Islam

Video serupa diunggah di YouTube dan Twitter. Unggahan video itu hampir berbarengan dengan kematian sopir truk Sinhala yang berkelahi dengan warga muslim beberapa hari sebelumnya.

Momennya begitu pas. Warga Sinhala pun tersulut. Setiap aspek dikait-kaitkan untuk membenarkan tindakan yang akan mereka lakukan. Yaitu, menyerang umat muslim dan properti milik mereka.

BACA JUGA: Boni Sebut Oposisi Kehilangan Isu Elegan untuk Serang Jokowi

Pemerintah berusaha memblokir media sosial agar video yang berbau ajakan melakukan kekerasan tak tersebar. Tapi, semuanya terlambat.

Video milik Weerasinghe sudah dibagikan dan ditonton ribuan kali. Demikian halnya dengan video maupun pernyataan serupa yang lahir setelah unggahan Weerasinghe.

Serangan warga Buddha Sinhala tak terbendung, bahkan setelah status darurat nasional diberlakukan Selasa (6/3). Puluhan rumah, toko, dan masjid dibakar. Setidaknya tiga orang tewas dalam serangan yang dilancarkan sejak Senin (5/3) itu.

Weerasinghe dan beberapa orang lainnya telah ditangkap, tapi situasi belum terkendali sepenuhnya. Penangkapan dirasa terlalu telat dan tak mencukupi untuk menghentikan kekerasan.

Insiden seperti itu bukan hal baru di Sri Lanka. Negara tersebut pernah hampir tiga dekade dilanda perang etnis. Setelah perang selesai pada 2009, berulang-ulang gerakan antimuslim digulirkan.

Metodenya serupa. Diawali dengan pernyataan bernada provokasi dan berakhir dengan serangan serta pembakaran. Pemerintah maupun penduduk seperti tak pernah belajar dari sejarah dan terus mengulang kejadian yang sama.

Direktur Eksekutif National Peace Council Jehan Perera mengungkapkan, meski warga Buddha Sinhala dan muslim hidup berdampingan, mereka masih merasa tidak aman.

”Warga Sinhala memandang diri mereka sebagai minoritas yang terancam keberadaannya,” terang Perera.

Di Sri Lanka, Sinhala memang mayoritas. Tapi, mereka beranggapan bahwa jumlah warga Tamil lebih banyak karena merupakan bagian dari warga Tamil Nadu di India.

Tamil didominasi umat Islam, Hindu, dan Kristen. Sinhala juga melihat warga muslim sebagai bagian dari komunitas Islam secara global. Mereka takut suatu hari Sri Lanka akan diambil alih.

Presiden Muslim Council of Sri Lanka Nizamuddeen Mohamed Ameen menambahkan bahwa kecemburuan juga menjadi salah satu sebab sentimen warga Sinhala.

Mereka beranggapan umat muslim menguasai perekonomian. Persis unggahan video Weerasinghe. Padahal, itu mitos belaka. Memang banyak umat muslim yang memiliki toko kecil. Namun, yang dijual adalah barang kebutuhan sehari-hari. Bisnis yang dilakukan bukan skala besar.

Penindakan yang setengah hati dari pemerintah juga membuat penduduk Buddha Sinhala di atas angin. Setiap kali terjadi kerusuhan, yang ditangkap hanya beberapa orang. Itu pun kerap kali mereka akhirnya dibebaskan.

Sebagai contoh adalah ujaran kebencian yang dilontarkan biksu Buddha Galagoda Atte Gnanasara dari kelompok garis keras Bodu Bala Sena (BBS). Pidatonya pada 2014 memicu gelombang antimuslim di Aluthgama. Insiden itu menewaskan empat orang dan melukai 80 lainnya.

Gnanasara saat itu tak ditangkap. Bukannya menangkap, pemerintah justru berusaha menutup-nutupi apa yang terjadi. Media-media lokal ditekan agar tak memberitakan kerusakan masif yang terjadi saat itu.

Sentimen dan insiden antimuslim terus terjadi setelahnya dalam skala yang lebih kecil. Baru pada 2017 Gnanasara berstatus buron gara-gara tidak hadir di pengadilan karena ujaran kebencian yang dilontarkannya. Dia akhirnya menyerahkan diri, tapi kemudian bebas dengan jaminan.

Aktivis HAM Sri Lanka Thyagi Ruwanpathira menegaskan, jika saja pemerintah dan penegak hukum bisa berubah dan mereka yang bersalah benar-benar dihukum, pelaku tidak akan seberani sekarang ini.

Sejak terpilih pada 2015, Presiden Maithripala Sirisena berjanji untuk menghukum pelanggar HAM. Tapi, janji itu hampir tak pernah terealisasi.

Aktivis HAM berdarah Tamil Gary Anandasangaree mengungkapkan bahwa kebal hukum itu seakan sudah berakar di Sri Lanka. Dalang di balik perang antaretnis yang berakhir 2009 saja tak pernah diproses hingga ke penjara.

Para komandan senior yang dituding melanggar hukum internasional selama perang terjadi malah diberi jabatan penting yang membuat mereka kebal hukum. (sha/c10/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Antisipasi Serangan, Salat Jumat Dibagi Dua Shift


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler