Dua karya seni purba milik warga Pribumi Australia suku Aborigin akhirnya dikembalikan ke tempatnya semula di Tasmania barat-daya setelah dicuri dari sana pada tahun 1960-an.

Ukiran batu tersebut diambil paksa dengan cara digergaji dan dipotong menjadi dua bagian, yang selanjutnya disimpan di Tasmanian Museum and Art Gallery (TMAG) di Hobart dan Queen Victoria Museum and Art Gallery (QVMAG) di Launceston, Tasmania.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Pendukung Tim Sepak Bola Australia Ricuh Saat Nonton Bareng Piala Dunia

Hari Rabu (23/11) ini, petroglif yang diperkirakan berusia 14.000 tahun tersebut dikeluarkan dari kedua museum dengan upacara asap khas suku Aborigin.

Manajer Aborigin Land Council of Tasmania, Rebecca Digney, menyebut pengembalian benda suci ke tempatnya semula telah ditunggu-tunggu oleh masyarakat pribumi selama lebih dari 50 tahun.

BACA JUGA: Penyebab Usia Harapan Hidup Warga Pedalaman Lebih Pendek Dibandingkan Perkotaan di Australia

Andry Sculthorpe dari Tasmanian Aboriginal Centre menyampaikan terima kasih kepada masyarakat Pribumi Australia yang tanpa lelah berkampanye agar ukiran tersebut dikembalikan ke tempat asalnya.

Ketua Dewan Tanah Aborigin Michael Mansell menyebut karya seni itu menceritakan sebuah kisah.

BACA JUGA: Pakar Jelaskan Perbandingan Gempa Cianjur dengan Gempa Aceh di Tahun 2004

"Jika Anda melihat semua pahatan batu di sepanjang Pantai Barat Tasmania, nenek moyang kami meninggalkan rekor kehidupan Aborigin 15.000 tahun silam," ujarnya.

Situs di daerah preminghana ( ditulis tanpa kapital, karena warga Pribumi Australia tidak mengenal huruf kapital) tempat asal ukiran batu tersebut hanya dapat diakses dengan berjalan kaki atau berkendara roda empat berjam-jam lamanya.

Dua opsi yang tidak dapat dilakukan untuk mengangkut karya seni kuno yang besar namun rapuh.

"Petroglif yang lebih besar di Hobart harus dihilangkan betonnya dengan hati-hati, jadi sekarang beratnya sekitar satu ton, dan yang lebih kecil sekitar 300 kilogram," kata Rebecca Digney. 

"Awalnya ada keinginan membawa benda-benda keramat ini dengan helikopter," katanya.

Dia mengatakan petroglif akan kembali ke tempat asalnya, dan meski akhirnya akan tertutup pasir, namun memang seharusnya seperti itu.Merasa tak dilibatkan

Meski demikian, Circular Head Aboriginal Corporation (CHAC), yang wilayah geografisnya mencakup daerah preminghana, mengaku tidak dilibatkan dalam proses pengembalian ini.

Ketua CHAC Selina Maguire-Colgrave mengatakan penduduk non-Pribumi dan Aborigin seharusnya dilibatkan dalam proses.

"Karena kami hanya memiliki satu dewan pertanahan, dan berbasis di Hobart, mereka seharusnya berbicara atas nama seluruh warga Pribumi Australia di Tasmania. Hal itu tidak mereka lakukan," katanya.

Selina mengatakan mengembalikan petroglif ke lanskap semula sama saja dengan mengubur karya itu..

"Mengapa kita tidak menggunakan beberapa petroglif tertua di dunia sebagai kesempatan belajar dan bahan untuk rekonsiliasi?" ujarnya.

"Kita dapat menempatkannya di museum lokal atau dibuatkan fasilitas di dekat preminghana," tambahnya.

Namun Rebecca mengaku pihaknya telah berkonsultasi dengan ratusan orang di wilayah tersebut.Mengambil tanpa izin

TMAG dan Royal Society of Tasmania secara terbuka meminta maaf pada Februari 2021, mengakui pihaknya "hampir 200 tahun melakukan praktik yang salah secara moral".

Pada zaman kolonial, organisasi-organisasi itu terlibat dalam penggalian jenazah warga Pribumi Australia atas nama ilmu pengetahuan dan mengambil artefak suci tanpa izin.

Dewan Kota Launceston, yang mengelola Museum dan Galeri Seni Queen Victoria, meminta maaf kepada penduduk Pribumi Australia di Tasmania pada tahun 2020, meskipun tidak secara khusus tentang petroglif atau artefak.

Direktur TMAG Mary Mulcahy mengatakan museum mengakui bahwa materi yang penting secara spiritual dan budaya dan yang diperoleh secara tidak etis harus "dikembalikan ke pemiliknya yang sah tanpa syarat".

Dia mengatakan museum telah "meminta maaf tanpa pamrih atas praktiknya di masa lalu — termasuk penghapusan petroglif preminghana pada tahun 1960-an — yang mengakibatkan luka batin dan penderitaan luar biasa bagi orang-orang Pribumi Australia di Tasmania".

Dirangkum dan diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News yang dapat dibaca selengkapnya di sini

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penduduk Australia Utara Bingung Harus Apakan Bangkai Perahu Asal Indonesia

Berita Terkait