Umumkan Cakada Tersangka sebelum Pilkada, Pertaruhan KPK

Minggu, 11 Maret 2018 – 16:19 WIB
KPK. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengumumkan penetapan sejumlah calon kepala daerah (cakada) sebagai tersangka, tanpa menunggu usai pilkada. Jika cakada sudah memenuhi syarat sebagai tersangka, maka akan segera diumumkan.

Namun, ada yang menilai langkah KPK tidak tepat dan akan menjadi pertaruhan bagi lembaga antirasuah itu.

BACA JUGA: Tegas, KPK Segera Umumkan Nama Cakada Tersangka Korupsi

Sebab, bila manuver penindakan itu urung diumumkan, citra lembaga superbodi tersebut bisa menurun di mata publik.

”Memang tidak pas KPK menyampaikan pandangan seperti itu,” kata Erwin Natosmal Oemar, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), seperti diberitakan Jawa Pos (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Banyak Banget Pengaduan Kasus Korupsi dari Jatim

Dibanding pilkada sebelumnya, manuver KPK menindak para cakada tahun ini memang terbilang militan. Total, sudah lima cakada yang mengenakan seragam tahanan KPK.

Yakni, Nyono Suharli Wihandoko (cabup Jombang), Marianus Sae (cagub NTT), Imas Aryumningsih (cabup Subang), Mustafa (cagub Lampung) dan Asrun (cagub Sulawesi Tenggara).

BACA JUGA: Jimly Asshiddiqie Menyarankan KPK Tiru Polri

Erwin mengatakan, pada 2017, upaya KPK menindak cakada saat tahapan pilkada bergulir memang lebih minim ketimbang saat ini.

Dia menilai, rencana KPK akan mengumumkan penetapan tersangka dalam waktu dekat, terlalu berlebihan. ”Jika KPK punya data, seharusnya disampaikan pada saat penetapan tersangka secara spesifik,” tuturnya.

Pria yang juga peneliti School of Transnational Governance di European University Institute tersebut menambahkan, langkah KPK saat ini tidak bisa disimpulkan sebagai tindakan progresif.

Sebab, perilaku koruptif cakada dan cawakada, khususnya incumbent, untuk pembiayaan pilkada itu merupakan kebutuhan yang sulit lepas menjelang pilkada.

”Kami memahami terkadang KPK agak frustasi dengan segala tindakan hukumnya ternyata tidak berefek terlalu banyak (terhadap perilaku koruptif jelang pilkada, Red),” ujarnya.

Namun, langkah penindakan secara berlebihan juga tidak bisa menjadi jaminan para cakada dan cawakada petahana lepas dari iming-iming uang haram untuk biaya politik.

Langkah yang lebih elegan, kata Erwin, KPK bisa mengeluarkan analisis kebijakan publik dari perspektif pemberantasan korupsi terhadap sistem pilkada.

Sejauh ini, studi KPK tentang pilkada masih sebatas pada masalah pendanaan cakada-cawakada. Belum sistem pilkada secara menyeluruh. ”Analisis itu nantinya disampaikan ke DPR dan presiden,” terangnya.

Menurut Erwin, kelemahan sistem pilkada serentak bukan hanya terletak pada persoalan pendanaan.

Tapi juga soal aturan dasar di sistem pilkada yang belum mengatur tentang arah kebijakan pemerintah dalam menciptakan sistem politik berintegritas.

”Nah, untuk membuat kebijakan itu, KPK perlu mengeluarkan analisis berupa data,” tuturnya.

Hasil studi KPK tentang potensi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada pada 2017 menjadi masukan untuk pemerintah.

Riset yang dilakukan bagian penelitian dan pengembangan (litbang) KPK tersebut menghasilkan beberapa poin.

Salah satunya meningkatnya kecenderungan paslon mengeluarkan dana kampanye melebihi batas dana yang ditentukan KPU. Yakni dari 46 persen pada 2016 menjadi 52,2 persen pada 2017.

Studi itu juga menunjukan bahwa sebanyak 71,3 persen para donatur yang memberikan bantuan dana kampanye kepada paslon pilkada 2017 lalu mengharapkan balasan ketika cakada-cawakada terpilih.

Bentuk balas jasa itu antara lain, keamanan menjalankan bisnis (76,7 persen), kemudahan perizinan (76 persen), kemudahan ikut tender proyek (73,3 persen) dan kemudahan akses mendapat jabatan (56 persen).

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menerangkan, hasil studi itu sudah disampaikan dan dipresentasikan kepada stake holder pilkada.

Mulai dari KPU sampai partai politik. Pihaknya pun menyarankan sistem pilkada serentak kedepan tidak lagi membuka peluang potensi benturan kepentingan pendanaan pilkada.

”Banyak kepala daerah yang mengeluhkan biaya politik yang mahal,” paparnya. Namun, sampai saat ini hasil studi KPK itu belum ditindaklanjuti pihak terkait.

Pun, perbaikan sistem pilkada untuk mencegah tingginya pembiayaan pencalonan kepala daerah dan kampanye diluar KPU urung bisa dilakukan. (tyo)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Umumkan Calon Kada jadi Tersangka Jangan Sampai Picu Gejolak


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler