jpnn.com - Rusia berang. Penyebabnya adalah undang-undang (UU) yang baru saja disetujui parlemen Ukraina Kamis (18/1). Dalam UU tersebut, Ukraina menyebut Rusia sebagai negara penjajah.
Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut bahwa legislasi itu merupakan perangkat yang disiapkan untuk memulai perang yang baru. Sebab, sebelumnya Ukraina dan pemberontak pro-Rusia sudah menandatangani kesepakatan damai di Minsk, Belarus, pada 2015 lalu.
BACA JUGA: Di Depan Erdogan Mengecam, Putin Sekarang Sanjung Trump
Berdasar kesepakatan itu, Ukraina dan pemberontak tak hanya melakukan gencatan senjata. Ukraina juga berjanji memberikan ampunan. Para pemberontak juga dijanjikan wilayah otonomi khusus.
Dengan UU yang baru tersebut, kesepakatan di Minsk tidak mungkin dijalankan. Sebab, isi dari aturan baru itu bertolak belakang.
BACA JUGA: AS Sebut Klaim Kemenangan Rusia atas ISIS Penuh Omong Kosong
Rusia menyebut langkah Ukraina tersebut bakal membuat para pemberontak kian terasing. Alih-alih membuat situasi damai, UU itu ditengarai membuat situasi kian runyam.
’’Kiev telah menyabotase kesepakatan Minsk dan kini menguburnya (dengan UU yang baru),’’ tegas Kepala Komite Urusan Luar Negeri di Majelis Tinggi Rusia Konstantin Kosachev, Jumat (19/1).
BACA JUGA: Erdogan Undang Bekas Negara Komunis Ini ke Pertemuan OKI
Pernyataan senada dilontarkan Alexander Zakharchenko, pemimpin pemberontak di wilayah Donetsk. Menurut dia, Ukraina seharusnya menaati kesepakatan yang sudah ditandatangani bersama para pemberontak itu.
Setelah kesepakatan Minsk ditandatangani, bentrokan memang masih sering terjadi, tapi dalam skala yang lebih kecil. Banyak pihak tidak mengharapkan perang kembali pecah. Sebab, sejak konflik di Ukraina terjadi pada 2014 lalu, setidaknya 10 ribu orang tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka.
Tapi, Ukraina berpendapat lain. Mereka ingin mengambil alih kembali wilayah-wilayah mereka yang sudah dikuasai Rusia maupun pemberontak yang pro-Negeri Beruang Merah itu.
Dalam UU tersebut tercantum jelas bahwa mereka akan melakukan segala upaya, termasuk dengan kekuatan militer, untuk menyatukan kembali Ukraina.
Presiden Ukraina Petro Poroshenko menegaskan bahwa UU tersebut akan membantu mengontrol wilayah timur negaranya. Baik itu secara politik maupun diplomatik.
Kesepakatan Minsk tidak disinggung sama sekali dalam UU tersebut. Sebagian besar penduduk Ukraina memang tak senang dengan kesepakatan itu.
Volodymyr Fesenko, kepala pusat penelitian Penta, mengungkapkan bahwa tujuan utama UU yang baru disahkan itu adalah melindungi kepentingan-kepentingan Ukraina di pengadilan internasional.
Meski begitu, beberapa poin menjadi kritik para pengamat. Termasuk tidak ada tanggal pasti kapan tepatnya Rusia menjajah Ukraina. Apakah saat mengambil alih Crimea atau sebelumnya.
Sebab, tanpa adanya tanggal yang tepat, bisa timbul masalah di pengadilan internasional. Beberapa lainnya menyebut UU itu hanya membuat Presiden Poroshenko memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengerahkan pasukan.
Sementara itu, Rusia juga menuding AS ikut memanaskan konflik di Ukraina dengan membantu persenjataan batalyon ultranasionalis Ukraina Azov. Pasukan tak resmi Ukraina itu tampak membawa senjata antitank buatan Negeri Paman Sam tersebut.
Rusia khawatir AS mendesak Ukraina untuk menyelesaikan konflik di Donetsk dan Luhansk dengan pasukan militer. Karena itulah, AS menyuplai persenjataan berat ke Kiev. (sha/c17/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Putin dan Erdogan Sepakat Trump Bikin Kacau Timur Tengah
Redaktur & Reporter : Adil