Uni Eropa Harus Konsisten Atas Implementasi Lisensi FLEGT

Selasa, 09 November 2021 – 09:55 WIB
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian LHK Agus Justianto. Foto: KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Sistem Verifikasi Legal Kayu atau SVLK, yang sudah diakui dunia internasional seperti Uni Eropa dalam kerangka perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan (VPA FLEGT) tetap dipertahakan dalam implementasinya.

SVLK pun kemudian disetarakan sebagai lisensi FLEGT 2016. Lalu tahun 2019 kita mengadakan perjanjian (VPA) dengan Inggris, karena Inggris keluar dari Uni Eropa.

BACA JUGA: COP 26 Glasgow Membahas Potensi Unik Pertanian Demi Atasi Perubahan Iklim

“Artinya, kita mendorong bahwa sistem kita ini sudah teruji kredibiitasnya, sehingga sejumlah negara sudah mencontoh sistem SVLK kita. Sebelumnya kita berhasil atasi illegal loging dengan SVLK ini dan sekarang kita dorong melalui SVLK untuk kelestarian hutan,” ujar Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian LHK Agus Justianto dalam keterangan tertulis dari COP26, Glasgow, Inggris, Selasa (9/11/2021).

Agus mengungkapkan, dalam sesi diskusi di Paviliun Indonesia, Senin, ternyata kita dapat dukungan dari negara-negara lain terutama yang memiliki hutan tropis. Sebab, mereka menganggap Indonesia yang sudah memiliki sistem lebih awal, ternyata tidak mudah mendapatkan pengakuan negara konsumen.

BACA JUGA: Kementerian ATR/BPN Kolaborasi dengan KLHK Dorong Implementasi TORA

Oleh karena itu, lanjut Agus, dalam forum diskusi itu kita juga menuntut, negara konsumen yang menerima kayu kita atau mengimpor kayu kita, juga harus dievaluasi. Sebab, selama ini kita yang dievaluasi. Sekarang kita balik menuntut, karena ada pasal 13 dari perjanjian FLEGT, kita bisa mendapatkan insentif untuk premium price dan sampai saat ini kita belum peroleh.

“Jadi, kita tuntut sistem mereka juga, kita sudah ikuti aturan tetapi faktanya belum mendapatkan harga premium yang dijanjikan, karena mereka masih menerima kayu-kayu yang belum memperoleh  lisensi FELGT,” papar Agus Justianto yang juga penanggungjawab Paviliun Indonesia di COP26 Glasgow.

“Jika Uni Eropa dan Inggris tidak serius, maka kita akan angkat masalah ini ke tingkat global. Sebab, SVLK kita mendapatkan lisensi FLEGT, tetapi Uni Eropa tidak konsisten dalam menerapkan lisensi FLEGT.

“Jadi, kita mendorong lisensi FLEGT secara global,” kata dia.

Sementara itu, Dirjen PHL Kementerian LHK Agus Justianto juga menyinggung pembahasan soal FACT dalam diskusi di Paviliun Indonesia.

Dia menyebutkan Inggris sebagai tuan rumah atau presidensi COP26 ingin membuat legacy, selain negosiasi, ada jalur non-negosiasi yang dimanfaatkan semua negara penyelanggara. Inggris mengangkat tema The Forest, Agriculture and Commodity Trade atau FACT untuk membuat deklarasi yang terkait dengan kehutanan dan pertanian, termasuk perdagangan.

FACT Dialogue dibentuk pada April 2021 dalam pertemuan pejabat setingkat menteri yang disebut First Ministerial Roundtable dan diikuti wakil  26 negara dalam rangkaian kegiatan menuju COP26 di Glasgow.

Inggris sebagai tuan rumah COP26 meminta Indonesia sebagai Co-Chair dalam  FACT Dialogue, dan diputuskan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong mewakili Indonesia itu bersama  Menteri Lingkungan Inggris, Goldsmith memimpin forum dialog FACT .

Lebih lanjut, forum menyepakati pembentukan empat kelompok kerja atau working group, antara lain Trade and Market Development; Smallholder Support; Transparency and Tracebility; dan Research, Development and Innovation yang akan segera menyusun Peta Jalan (Roadmap) mengenai langkah konkret yang dapat diambil oleh Pemerintah.

Kelompok kerja ini mengadakan pertemuan rutin sejak April 2021 dan dalam perjalanan berkembang menjadi 30 negara yang bergabung untuk berbagi pengalaman  dan informasi terkait kebijakan masing-masing negara.

“Dalam forum COP 26 di Glasgow ini, kelompok kerja mengarah pada kerja sama yang lebih serius, sehingga dalam perjalannya diusulkan untuk mendorong  Climate Leaders Summit on Forest and Land Use yang dihadiri Presiden Jokowi.

Untuk mendorong pertemuan Climate Leader Summit ini tentunya mesti ada komitemen yang akan disampaikan pada Climate Leaders Summit. Ini tidak mudah karena awalnya akan dibuat semacam agreement, tetapi kita tolak dan turun lagi menjadi semacam joint statement.

Akhirnya disepakati joint declaration. Kemudian, banyak hal yang didiskusikan dengan cukup keras, karena mereka ingin mengangkat isu  deforestasi dalam hal  UE dan Inggris mengarahkan pada zero deforestation.

Uni Eropa memang mendorong apa yang disebut free deforestation, dan Inggris juga ingin ikut-ikutan seperti itu. Kita dari Indonesia sangat keras menolak isu tersebut karena komitmen Indonesia adalah mengurangi laju deforestasi semaksimal mungkin tanpa menghentikan proses pembangunan yang sedang berlangsung.

FoLU Net Sink 2030

Lebih jauh Agus Justianto menegaskan, kita tidak setuju apa yang disebut zero deforestation sehingga akhirnya kesepakatannya adalah halt and reverse forest lost and land degradation by end 2030.

Ini terminologi bahasa Inggris memang mereka ahli. Kita pun juga menyampaikan bahwa kita mempunyai program yang disebut Indonesia Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 atau net karbon melalui sektor kehutanan dan lahan jangan diartikan sebagai zero deforestation. Tetap ada emisi dari hutan tapi kita juga menyerap lebih banyak, jadi net.

“Ini yang kita sampaikan dan usung dan disampaikan oleh Presiden Jokowi . Ini juga jadi bahan bargaining kita, sebab kita didorong untuk bebas emisi 2030. Artinya sektor kehutanan yang siap dan berani menjanjikan untuk mencapai Net Sink. Dan ini yang tidak dipahami dan bahkan sengaja disesatkan. Pertama definisi deforestasi antara kita dan Inggris atau Uni Eropa dan banyak negara negera berbeda,” papar Agus.

Bagi kita, deforestasi akan tetap dilakukan sepanjang kita bisa mengurangi dari kegiatan-kegiatan lain. Sebab kita bisa melakukan reforestasi, dengan demikian  kita tidak boleh dilarang untuk melakukan deforestasi. Namun, kita tetap melarang deforestasi yang ilegal.

Agus menegaskan, definisi kita secara ilmiah diakui internasional, ini bukti  kita mampu mengurangi emisi dari  sektor kehutanan atau deforestasi sehingga dapat pembayaran berbasis kinerja dari Bank Dunia untuk Kaltim sekitar 106 juta dollar AS, dari Green Climate Fund setujui REDD+ Results-Based Payment 103,8 juta dolar AS serta  Norwegia yang kemudian malah dibatalkan.

Dalam menghitung Results-Based Payment kita sudah diakui, tapi masih saja ada yang menyerang dengan tujuan agar kita mematuhi zero deforestation. Kita mengeluarkan berbagai kebijakan seperti penghentian izin terkait penggunaan kawasan hutan primer dan lahan gambut.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler