jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Indonesia Fraksi Partai Nasional Demokrat Hamdani menilai resolusi Parlemen Uni Eropa yang berisi pelarangan negara-negara anggotanya mengimpor minyak sawit, lebih kepada persoalan persaingan bisnis.
"Dalam kontekstual saya melihat ada persaingan yang sangat tajam," tegasnya saat diskusi Lawan Parlemen Uni Eropa, Kamis (4/5), di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
BACA JUGA: Kasus Dugaan Korupsi Dana Perkebunan Kelapa Sawit Dilaporkan ke KPK
Dia menjelaskan, sebenarnya Uni Eropa ingin beberapa produknya seperti bunga matahari bisa memenuhi kebutuhan konsumsi mereka.
Namun, kenyataan di lapangan mereka tidak bisa membuka lahan baru untuk bunga matahari.
BACA JUGA: Uni Eropa Tetap Butuh Kelapa Sawit dari Indonesia
Menurut dia, lahan baru misalnya 15 ribu hektar yang harus dibuka, sama dengan luas Kota Amsterdam.
Sedangkan di Indonesia, kata dia, masih memungkinkan untuk membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
BACA JUGA: Pengelolaan Kelapa Sawit Rawan Korupsi
"Itu saya lihat dari segi kompetisi," tegasnya.
Hamdani juga menyinggung kedok Uni Eropa mengeluarkan resolusi. Seperti alasan industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, hingga mempekerjakan anak dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Tidak pantas mereka mengatakan Indonesia melakukan hal-hal seperti itu," ungkap Hamdani.
Dia menjelaskan, sebenarnya negara-negara besar di Uni Eropa dan Amerika yang cenderung melakukan deforestasi.
"Mereka pembuat alat-alat berat dari deforestasi itu," katanya.
Dia juga menepis alasan Uni Eropa soal alasan pelanggaran HAM dan pekerja anak di bawah umur.
Menurut dia, mungkin ketika mereka meninjau lapangan, melihat ada pekerja di perkebunan kelapa sawit yang membawa anak. Nah, kata dia, anak-anak itu kemungkinan saat itu membantu orang tuanya.
"Itu sebuah kebiasaan kami di Kalimantan," tegas legislator daerah pemilihan Kalimantan Tengah itu.
Lebih lanjut Hamdani meminta pemerintah melakukan diplomasi faktual dengan melibatkan DPR.
Sebab, resolusi itu dilemparkan oleh Parlemen Uni Eropa.
"Jadi DPR harus dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan internasional dalam rangka menyelesaikan persoalan ini dengan pihak Uni Eropa," ujarnya.
Hamdani yakin, Kementerian Luar Negeri maupun Kedutaan Besar RI di negara-negara Eropa, sudah melakukan lobi-lobi internasional. Terlebih lagi resolusi itu bukan keputusan final atau undang-undang. "Jadi masih pemerintah Indonesia melakukan negosiasi terhadap resolusi itu," katanya.
Dia mengatakan, resolusi ini bisa menyebabkan Uni Eropa kehilangan pedapatan sekitar 9 miliar Euro, kehilangan 117 ribu tenaga kerja.
Hal ini disebabkan Eropa menggunakan crude palm oil Indonesia untuk minyak goreng maupun pengolahan lain.
"Jadi kalau mereka mengatakan tidak memboikot atau apa, itu implikasinya panjang," ujarnya.
Dia yakin dengan adanya resolusi itu pemerintah bisa menindaklanjutinya dengan melakukan perbaikan-perbaikan.
"Supaya Indonesia bisa berkompetisi tidak hanya skala prioritas dalam persaingan usaha tertentu, tetapi juga pemberdayaan masyarakat yang ada di daerah," tegasnya.
Seperti diketahui, Parlemen Uni Eropa awal April 2017 mengeluarkan resolusi.
Isinya adalah pelarangan bagi negara-negara anggota Uni Eropauntuk mengimpor minyak sawit.
Alasannya, industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, hingga mempekerjakan anak dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Resolusi itu secara khusus menyebut industri sawitIndonesia sebagai salah satu pihak pemicu masalah-masalah tersebut.
Ada 640 anggota Parlemen Uni Eropa yang menyetujuinya, sedangkan 18 lainnya menolak dan sisanya ada 28 memilih abstain.
Laporan itu akan diserahkan ke Komisi dan Presiden Uni Eropa.
Parlemen Uni Eropa mendesak Komisi Uni Eropa menerapkan skema sertifikasi tunggal bagi produk sawit impor demi menghentikan dampak buruk industri ini.
Resolusi itu juga menyarankan penghentian penggunaan minyak nabati secara bertahap sampai 2020. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Ganjar Pranowo, 10 Warga Anda Telantar di Balikpapan
Redaktur & Reporter : Boy