Unik, Tak Ada Istilah Rehat bagi Nelayan Saria

Senin, 29 Mei 2017 – 06:52 WIB
Dermaga Pelabuhan Perikanan Desa Saria. Dermaga kecil ini biasanya ramai saat kapal tangkap ikan para nelayan berlabuh usai melaut. Foto: SUPARTO MAHYUDIN/MALUT POST/JPNN.com

jpnn.com, HALMAHERA BARAT - Di Maluku Utara, umumnya nelayan akan rehat melaut saat memasuki bulan terang. Mereka percaya, hasil tangkapan berkurang jauh jika rembulan sedang purnama. Nelayan di Saria sebaliknya. Hanya cuaca ekstrem yang dapat menghentikan mereka.

SUPARTO MAHYUDIN, Jailolo

BACA JUGA: Perum Perindo Gandeng Nelayan Eks Cantrang

Melaut tampaknya sudah mendarahdaging pada warga Desa Saria, Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat (Halbar). 99 persen warganya berprofesi sebagai nelayan, menjadikan desa ini sebagai salah satu pemasok hasil laut utama di Halbar. Bahkan warga yang telah berkarir di bidang lain, pegawai negeri sipil misalnya, tetap melaut usai jam kantor. Tak heran, oleh Pemerintah Kabupaten Halbar, Saria ditetapkan sebagai Desa Nelayan.

Saria terletak di ujung paling barat Kecamatan Jailolo. Nelayan di desa berpenduduk 173 Kepala Keluarga ini dikenal sebagai nelayan tangguh. Tak ada istilah rehat bagi nelayan Saria.

BACA JUGA: Makin Kesulitan, Nelayan Pekalongan Mengeluh ke Marwan

Padahal umumnya nelayan di Malut memiliki “penanggalan” tersendiri saat melaut. Yakni sejak tanggal muda (awal bulan, Red) hingga pertengahan bulan. Pada pertengahan bulan, rembulan di langit mulai purnama. Nelayan dengan sendirinya mengurangi aktivitas melaut.

Bulan terang itu diyakini mengurangi hasil tangkapan ikan. Teori ini bukannya tanpa dasar. Saat terang bulan merupakan masa memijah dan bertelur ikan. Aktivitas ikan untuk berburu pun jadi menurun. Bulan juga mempengaruhi pasang surut air laut dan arus laut. Saat purnama, posisi bulan berada dekat dengan bumi. Alhasil, pengaruh gravitasinya juga mempengaruhi arus bawah laut dengan kencang.

BACA JUGA: TNI AL dan Himpunan Nelayan Selenggarakan Sarasehan HNSI

Selain itu, cahaya bulan yang menyebar membuat ikan-ikan cenderung menyebar. Lampu nelayan pun menjadi tidak efektif untuk memancing berkumpulnya ikan.Tak heran, saat bulan terang harga ikan cenderung melonjak.

Namun penanggalan bulan tersebut tak berlaku bagi nelayan Saria. Saat bulan terang pun mereka tetap melaut seperti biasanya. Abdillah Albaar, salah satu nelayan Saria menuturkan, awalnya moyang mereka melaut menggunakan metode yang sama dengan nelayan lain. Yakni melaut sampai malam ke-15 bulan berjalan. Selanjutnya rehat saat terang bulan. Masa istirahat selama dua minggu itu digunakan untuk memperbaiki alat tangkap dan perahu.

Perubahan cara melaut terjadi sekitar tahun 1994. Nelayan Saria tak lagi berpatokan pada bulan. Rupanya, tak ada alasan luar biasa di balik perubahan besar itu.

”Kami percaya, rezeki (hasil tangkap yang baik, Red) tak menunggu bulan. Lagi pula, jika harus menunggu sampai 2 minggu baru melaut maka pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup akan sulit,” ungkap Abdillah saat ditemui di Pelabuhan Perikanan Desa Saria, Kamis (25/5).

Abdillah yang telah melaut sejak duduk di bangku SD ini menyatakan, hanya gelombang ekstrem yang dapat menghentikan nelayan Saria melaut. Selain itu, nelayan Saria terkenal melaut “sesuka hati”. ”Yang penting alat siap, kami bias turun ke laut sore, pagi, atau malam,” tuturnya.

Areal tangkap nelayan Saria nyaris selalu sama sejak dulu, yakni Perairan Jailolo dan Susupu. Di Susupu, mereka memiliki rumpon yang menjadi pusat penangkapan ikan.

”Saat musim ikan, maka sudah dapat dipastikan sekali melaut untuk satu armada dapat menangkap ikan 7 sampai 10 ton. Satu ton isinya 30 keranjang,” kata pria 47 tahun itu.

Per keranjang ikan dihargai Rp 300 ribu. Jika satu armada berhasil mendapatkan 10 ton, maka hasil tersebut dirupiahkan mencapai Rp 90 juta. Hasilnya tentu harus dibagi pada semua nelayan yang ikut dalam armada. ”Satu armada bisa diisi 15 sampai 20 orang,” sambung Abdillah.

Desa Saria saat ini memiliki 17 armada. Dua diantaranya, yakni KM Sinar Mado dan KM Delta, adalah milik Abdillah. Jumlah kapal tangkap ikan ini tergolong paling banyak dibandingkan desa-desa lain di Halbar. ”17 armada itu memanfaatkn tenaga semua nelayan di Saria. Jadi semua nelayan kebagian armada,” tuturnya.

Untuk melaut di Perairan Jailolo, bahan bakar minyak yang dibutuhkan pulang-pergi berkisar 50 sampai 60 liter. Namun jika nelayan harus menangkap ikan sampai Susupu, maka BBM yang dibutuhkan mencapai 100 sampai 150 liter.

”Saat musim ikan, pasokan akan melonjak sehingga pasar-pasar di Jailolo saja tidak bisa menampungnya,” ujar Abdillah.

Jika sudah begitu, mau tak mau sebagian ikan dibawa ke Ternate, Sidangoli, bahkan Tidore. Nelayan Saria hanya menjual ikan segar. Karena itu, stok ikan tak mungkin mereka simpan berlama-lama. ”Kalau tidak segera dijual ikannya bisa rusak,” imbuh Abdillah.

Kepala Desa Saria Atman Hasan menambahkan, warganya mempertahankan profesi nelayan secara turun temurun. Meski sebagian warga memiliki kebun pala dan cengkih, berkebun hanya menjadi pekerjaan sampingan mereka.

”Hasil nelayan untuk warga Desa Saria ini sangat menjanjikan. Anak-anak mereka bersekolah, membangun rumah, dan sebagainya semua dari hasil laut. Jangan heran kalau anak muda yang sudahjadi PNS pun masih suka melaut,” paparnya.

Meski mengakui ketangguhan warganya di laut, Atman tetap berpesan agar mereka selalu berhati-hati saat melaut. Terutama saat terjadi perubahan cuaca tiba-tiba.

”Perubahan cuaca tiba-tiba bisa sangat berbahaya. Pendapatan nelayan kadang juga berkurang, namun mereka tetap bisa hidup cukup bahkan mengirim anak-anak sekolah di luar daerah dari hasil laut,” pungkasnya.(ato/kai)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumbar Jadi Tuan Rumah Penas XVI 2020


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
nelayan  

Terpopuler