Untar Adakan Seminar Bahas Bahaya Global Resistensi Antibiotik

Jumat, 26 Juli 2024 – 19:18 WIB
FK Untar Bahas Resistensi Antibiotik Menjadi Ancaman Global. Foto:Dok. Untar

jpnn.com, JAKARTA - SALAH satu universitas terkemuka Indonesia, Untar baru-baru ini mengadakan seminar yang cukup menarik.

Universitas Tarumanagara (Untar) berkolaborasi dengan INTI International University, Malaysia mengadakan seminar internasional bertema “Antibiotic Resistance: The Silent Pandemic”, Kamis(18/7/2024) di Auditorium Gedung J, Kampus I.

BACA JUGA: Untar dan LLDIKTI III Berkolaborasi, Dorong Pendidikan Berkualitas

Ketua Panitia Dr. dr. Shirly Gunawan, Sp.FK. mengungkapkan resistensi antibiotik merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat global.

Jika tidak mendapatkan pengawasan yang baik, resistensi antibiotik bisa berkontribusi pada meningkatnya masalah kesehatan dan menjadi penyebab utama kematian.

BACA JUGA: Resistensi Antibiotik jadi Masalah Baru

Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap dampak penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan tantangan signifikan dalam memperbaiki kesehatan global.

Hal inilah yang menyebabkan resistensi antibiotik dianggap sebagai the silent pandemic.

BACA JUGA: Ikuti Ajang Eurie 2024 di Turki, Untar Diproyeksikan Menjadi World Class University

Dalam sambutannya, Rektor Untar Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, M.T., M.M., I.P.U., ASEAN Eng. berharap isu resistensi antibiotik menjadi fokus bersama untuk diatasi.

"Dokter, pembuat kebijakan, peneliti, dan kita semua perlu bekerja sama untuk mengedukasi penggunaan antibiotik dengan bijak kepada masyarakat, memberi kontribusi penemuan pengobatan dengan metode baru guna mencegah terjadinya infeksi," kata Irawan.

Pembicara dari berbagai universitas internasional dihadirkan dalam seminar, antara lain Prof. Dr. Geetha Subramaniam (INTI International University), dr. Anis Karuniawati, Ph.D., SP.MK(K) (KomitePengendalian Resistensi Antimikroba), Assoc. Prof. Dr. Stephen Kidd (The University of Adelaide, Australia), Lalita Ambigai Sivasamugham (INTI International University), Prof. Dr. Anshoo Agarwal(Northern Border University, Kingdom of Saudi Arabia), Assoc. Prof. Dr. Gayathri Gururajan (Vels Institute of Science, India), dan dr. Velma Herwanto, Sp.PD, Ph.D., FINASIM, FACP (FK Untar).

Geetha mengungkapkan angka kematian akibat resistensi antibiotik diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2050 dengan 10 juta jiwa, menyaingi kematian akibat kanker.

Resistensi antibiotik bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga terkait dengan faktor ekonomi dan kemiskinan.

Hal ini memperlihatkan bagaimana ketidaksetaraan bisa memperburuk krisis kesehatan global.

Di sisi lain, Stephen membahas respon bakteri terhadap stres di dalam tubuh manusia serta reaksi terhadap antibiotik.

Hasil penelitian menunjukkan resistensi antibiotik ditemukan akibat perubahan karakteristik bakteri secara genetik.

Stephen juga menyoroti pentingnya riset untuk inovasi dalam pengembangan antibiotik yang lebih efektif, sejalan dengan upaya mendorong kemajuan industri dan infrastruktur kesehatan.

Lalita memaparkan hasil penelitiannya yang menggunakan bahan alami seperti daun mimba, pare, dan serai, menunjukkan karakteristik antibakteri yang konsisten.

Penelitiannya ini sejalan dengan prinsip konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, berfokus pada penggunaan bahan alami sebagai alternatif antibiotik yang ramah lingkungan.

Lalita percaya bahwa penelitian yang lebih mendalam mengenai metode ekstraksi serta pemahaman tentang struktur senyawa tanaman bisa mengembangkan alternatif antibiotik berbasis tanaman, sehingga bisa diproduksi dan dikonsumsi secara massal di masa depan.

Hal lain terkait antibiotik disampaikan Anshoo. Ia menyatakan resistensi antibiotik seringkali muncul akibat penggunaan yang tidak tepat, membuat konsumsi antibiotik tidak lagi menunjukkan khasiatnya untuk menghadapi bakteri.

Ditambahkannya, antibiotik tidak bisa mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau jamur.

"Pengetahuan yang cukup bagi masyarakat untuk memahami fungsi antibiotik bisa mengurangi kemungkinan penyalahgunaan antibiotik sehingga akan meminimalisir potensi resistensi antibiotik," tegasnya.

Velma menyoroti penurunan penemuan antibiotik sejak 1950 dan berakhir pada 1987.

Meskipun demikian, angka resistensi antibiotik terus meningkat.

"Ini menandakan urgensi untuk menggunakan antibiotik secara rasional lewat diagnosis penyakit yang benar, meresepkan antibiotik dengan dosis yang sesuai terhadap pasien,” pungkas Velma sebagai pembicara terakhir.

Seminar internasional ini turut dihadiri Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Untar Dr. dr. Noer Saelan Tadjudin, Sp.KJ. dan Dekan Faculty of Health and Life Sciences INTI International University Prof. Lee Shiou Yih.(fny/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Selamat, Humas Untar Raih Penghargaan Tertinggi dari Anugerah Diktiristek 2023


Redaktur : Fany
Reporter : Fany, Fany

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler