jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI Deddy Yevri Sitorus menilai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut moratorium ekspor CPO, minyak goreng, serta turunannya sudah tepat.
“Menurut saya memang sudah saatnya, saat ini sudah banyak pabrik pengolahan sawit atau PKS yang tutup karena sudah tidak mempunyai tangki penyimpanan produk CPO, sehingga sawit rakyat membusuk di lapangan,” kata Deddy dalam keterangannya, Jumat (20/5).
BACA JUGA: Larangan Ekspor CPO Dihapus, Airlangga Buka-bukaan soal Stok Minyak Goreng Nasional
Menurut politikus asal PDIP itu, moratorium itu memang tidak mungkin dilakukan terlalu lama. Sebab yang akan terpukul paling keras ialah rakyat petani di bawah.
Moratorium membuat PKS menghentikan pembelian tandan buah segera (TBS) yang diproduksi petani skala kecil. Kalaupun dibeli, harganya jatuh hingga lebih dari 50 persen. “Itu sumber penghasilan utama petani rakyat,” ujar Deddy.
BACA JUGA: Stabilkan Harga Minyak Goreng, Komite Pedagang Pasar Gandeng RT-RW
Deddy juga menyampaikan moratorium membuat petani kesulitan untuk membeli pupuk dan pestida yang harganya melonjak tajam.
Jika moratorium dibiarkan terlalu lama, menurut Deddy, maka bisa dipastikan produktivitas petani tahun depan akan melorot jauh dan bisa memicu kelangkaan lagi di tahun berikutnya.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Bakal Bertindak Tegas, Mafia Minyak Goreng Jangan Main-Main, ya!
“Apalagi jika petani memiliki tanggung jawab kepada pihak ketiga seperti bank, kredit angkutan, dan lainnya. Oleh karena itu, saya sangat menyambut baik pencabutan moratorium ekspor sawit ini,” ujarnya.
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara ini juga berharap pemerintah menyiapkan strategi dan kebijakan jangka panjang untuk mengantisipasi kelangkaan dan harga yang terlalu tinggi di masa depan.
“Menurut saya, kuncinya ada di hulu, yaitu pada penetapan harga TBS dan CPO khusus untuk minyak curah dan kemasan sederhana yang menjadi konsumsi rakyat kecil,” terangnya.
Dia menyarankan pemerintah harus memberlakukan kembali kebijakan Donestic Market Obligation (DMO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) terpadu untuk menjamin tersedianya pasokan secara terus menerus.
“Mudah-mudahan pemerintah sudah punya solusi terkait masalah pasokan ini, jantungnya ada di sana. Jika pemerintah memberlakukan kembali DMO dan HET, maka syaratnya adalah penguasaan pemerintah terhadap CPO dan minyak goreng tersebut agar tidak terjadi manipulasi, spekulasi, dan penyeludupan. Jadi, pemerintah harus menguasai barangnya”, ungkap Deddy.
Masalah penting lain adalah distribusi. Deddy melanjutkan khusus untuk minyak goreng curah dan kemasan sederhana hasil DMO, juga harus dalam penguasaan atau pengawasan ketat pemerintah.
Jika dilepas ke pasar, maka akan kembali rentan terhadap manipulasi, spekulasi, dan penyeludupan.
“Pemerintah bisa menugaskan BUMN dan BUMD atau koperasi atau swasta yang terverifikasi untuk menyalurkan kepada pengusaha kecil, pasar tradisional atau konsumen masyarakat bawah,” kata Deddy.
Deddy juga berharap pengarutan tata niaga dan distribusi CPO dan turunannya dikembalikan kepada Kementerian Perdagangan sesuai perintah UU Perdagangan dan UU Pangan.
Dirinya juga berharap Badan Ketahanan Pangan ditugaskan untuk menjadi pengawas dari seluruh rantai pasok sawit dan turunannya serta komoditas-komoditas penting lainnya.
Deddy menilai moratorium ini memberikan pelajaran berharga bagi pengusaha dan pengambil kebijakan bahwa semua pihak bisa berdarah-darah.
“Semoga perbaikan tata niaga dan rantai pasok dilakukan secara fundamental, jika tidak, akan sia-sia. Sudah puluhan triliun uang yang berputar di dalam industri sawit dan produk turunannya terbuang percuma, jangan sampai tidak ada perbaikan yang signifikan,” kata Deddy. (antara/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Klaim Harga Minyak Goreng Curah Turun, tetapi Kok?
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga