jpnn.com, MARAWI - Perang di Marawi sudah setahun berlalu. Tapi, trauma psikologis masih begitu terasa. Utamanya, pada anak-anak. Pemerintah berupaya mengatasinya dengan mengajak anak-anak kembali ke bangku sekolah.
Wajah Norhussein Benito tampak serius. Bocah enam tahun itu sedang belajar membaca bersama puluhan rekannya. Mereka mengikuti kindergarten catch-up education program (KCEP). Semacam TK, tapi bukan TK biasa. Melainkan, program TK percepatan agar anak-anak siap masuk SD.
BACA JUGA: Hasil Investigasi Sementara Polri soal Buletin Al Fatihin
Benito yang bercita-cita menjadi ulama itu seharusnya masuk TK tahun lalu. Tapi, rencana yang sudah disusun keluarganya buyar hanya sebulan sebelum dimulainya tahun ajaran baru.
Pada 23 Mei 2017 kelompok militan Abu Sayyaf yang dibantu Maute menggempur kota tersebut. Penduduk melarikan diri ke kota-kota lain di sekitarnya. Termasuk keluarga Benito. Total 360 ribu orang kehilangan rumah dan tinggal di kamp pengungsian.
BACA JUGA: Protes Dikaitkan dengan ISIS, GoJek Polisikan Penebar Hoaks
Gara-gara serbuan tersebut, proses belajar mengajar di 69 sekolah dihentikan. Pascaperang, 20 sekolah hancur total. Bangunannya tak bisa dipakai. Di antaranya, TK. Banyak anak yang terpaksa berhenti sekolah.
Untuk itulah, kini pemerintah menggulirkan program KCEP. Anak-anak yang akan masuk jenjang SD diajari selama delapan pekan. Selain menjadi transisi dari TK menuju SD pada Juni, program itu dijalankan untuk menghapus trauma yang mereka alami.
BACA JUGA: Secarik Kertas dari Aman Abdurrahman usai Dituntut Mati
”Ini adalah program pertama di wilayah otonomi Mindanao,” ujar Asisten Divisi Pengawas Sekolah Anna Zenaida Unte seperti dikutip Channel News Asia.
Menurut dia, 1.600 siswa menjalani program KCEP. Mereka belajar di tenda-tenda. Setiap kelas terdiri atas 30 hingga 35 anak. Beberapa terletak di Desa Sagonsong.
Mereka tidak hanya diajari baca dan tulis, tapi juga menyanyi, mewarnai, bermain clay, serta berbagai hal menyenangkan lainnya. Yang berbeda hanya pengajarnya. Sebagian adalah tentara yang ditugaskan di kamp-kamp pengungsian.
Norhana Radia, salah seorang guru di KCEP, mengungkapkan bahwa program itu berdampak positif pada anak-anak. Salah satunya, Benito. ”Dia bilang sudah lupa suara bom karena kini yang dipikirkannya adalah lagu-lagu yang kami ajarkan,” ujar Radia.
Kegiatan belajar mengajar di tingkat SD juga mulai menggeliat. Para siswa berdatangan ke sekolah-sekolah yang masih berdiri. Mereka tampak bersemangat meski tak ada yang memakai seragam dan hanya membawa peralatan belajar seadanya.
Noraida Arobinto, kepala SD Basak Malutlut, mengungkapkan bahwa pascakonflik, yang rusak bukan hanya fasilitas sekolah, melainkan juga psikologis siswa.
Terlebih, ada sejumlah siswa yang tewas tertembak. Militan Maute yang berkiblat ke Islamic State alias ISIS juga menggunakan sekolah-sekolah sebagai tempat perlindungan.
”Ketika saya datang lagi ke sekolah ini, saya melihat baju-baju mereka (pasukan ISIS, Red),” terang Arobinto. Ruang kelas VI di sekolah itu memang dijadikan markas ISIS. Baju-baju hitam bertulisan ISIS digantung begitu saja di jendela kelas.
Arobinto mengakui cukup sulit mengajak siswa kembali ke sekolah. Sebab, orang tua mereka masih ketakutan. Terlebih, sekolah yang dibawahkan Arobinto pernah menjadi markas ISIS.
”Hingga saat ini, para orang tua tidak membiarkan anak-anaknya berangkat sekolah sendiri,” terang pria 52 tahun itu. (sha/c10/pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Dalami Buletin Al Fatihin Alat Propaganda ISIS
Redaktur & Reporter : Adil