jpnn.com, JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta memulai rencana pembenahan besar-besaran terhadap kabel fiber optik yang semrawut di beberapa wilayah ibu kota sebagai bagian dari proyek Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT).
Dinas Bina Marga DKI Jakarta melakukan penurunan kabel udara di sepanjang jalur Senopati, Jakarta Selatan pada Kamis lalu (23/11).
BACA JUGA: Operator Kabel Optik Nakal Siap-siap Saja, Pemprov DKI Bakal Ambil Sikap
Penurunan ini dilakukan oleh Plt Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Heru Suwondo dan Wali Kota Jakarta Selatan Munjirin. Turut mendampingi juga direksi PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) selaku BUMD yang memiliki penugasan penataan SJUT.
Penurunan kabel ini merupakan bagian dari proyek SJUT yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan efisiensi infrastruktur kota, yang telah lama dihantui oleh masalah kabel semrawut yang tidak hanya merusak estetika kota tetapi juga menimbulkan risiko kecelakaan dan kebakaran.
BACA JUGA: Pengendara Motor di Bandung Tewas Diduga Terjerat Kabel Fiber Optik yang Menjuntai
Sepanjang tahun 2023, Jakarta telah menyaksikan berbagai insiden serius akibat kabel semrawut, termasuk kecelakaan yang menimpa pengemudi ojek online, Vadim (38), yang meninggal dunia terkena kabel listrik yang melintang di Jalan Brigjen Katamso, Palmerah, Jakbar pada Jumat malam (28/7).
Hal serupa juga dialami Sultan Rif’at Alfatih (20). Dia menjadi korban kabel melintang di Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan pada Kamis (5/1).
BACA JUGA: Blak-blakan Eks Ketua KPK: Jokowi Pernah Berteriak Agar Kasus Setnov Dihentikan
Akibat terjerat kabel, Sultan selama tujuh bulan hanya bisa makan dan minum dari selang di hidungnya.
Banyaknya korban dan potensi bahaya serta kerusakan estetika pemandangan kota, membuat pembangunan jalur khusus utilitas di bawah tanah menjadi suatu hal penting dan mendesak untuk dilakukan segera di Jakarta.
Insiden-insiden juga telah memicu diskusi publik tentang pentingnya pengelolaan infrastruktur kota yang lebih baik.
Ahli planologi Universitas Trisakti Nirwono Yoga menjelaskan bahwa kecelakaan yang menimpa Sultan seharusnya menjadi momen pemerintah untuk mempercepat pemindahan kabel optik yang semrawut dan menjuntai di udara bisa dipindahkan ke bawah tanah.
“(Pemprov) DKI dan DPRD perlu segera mempercepat pengesahan Perda SJUT agar pelaksanaan pemindahan jaringan utilitas ke bawah tanah bersamaan dengan revitalisasi trotoar,” ujar Yoga.
Pemindahan kabel optik ke dalam SJUT di bawah tanah juga berkaitan dengan kemudahan akses untuk pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur sehingga dibutuhkan percepatan dalam pembangunan proyek SJUT.
Koordinator Wilayah Jabodetabek Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Anton Belnis menuturkan jumlah kabel optik akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan pelanggan terhadap layanan internet.
Dia berharap pembangunan SJUT terus diakselerasi agar operator juga bisa memindahkan kabelnya.
"Selama ini Apjatel memberikan solusi sementara untuk mengatasi banyaknya kabel yang menjuntai di udara, yaitu dengan menempuh cara grouping, atau mengikat seluruh kabel ke dalam satu ikatan. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara mengingat peningkatan jumlah kabel fiber optik ke depannya," kata dia.
Upaya mewujudkan proyek SJUT sebenarnya sudah mulaiu menemukan titik terang. Pemprov DKI Jakarta telah menunjuk anak perusahaan BUMN Jakpro, PT JIP, untuk menangani pekerjaan SJUT sepanjang 115 kilometer di Jakara Selatan dan Jakarta Timur. Sementara Sarana Jaya ditugaskan untuk mengerjakan di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat dengan total panjang ruas jalan 100 kilometer.
Meski sudah melakukan penunjukan, implementasi pengerjaan projek SJUT ini masih belum terlihat.
Menurut direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Ahmad Redi sudah seharusnya pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur SJUT. Hal ini demi menjamin berlangsungnya kegiatan usaha dan pelayanan kepada masyarakat.
“Jika merujuk Pasal 28F UUD 1945, negara telah menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak masyarakat tersebut diperkuat dalam UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 12 UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi memberikan dasar hukum bagi jaringan telekomunikasi untuk memanfaatkan atau melintasi tanah negara, bangunan milik atau dikuasai pemerintah,” kata Ahmad Redi.
Undang-Undang No 25 tahun 2009 pasal 5 tentang Pelayanan Publik Redi telah menjelaskan, kata dia, kabel telekomunikasi (komunikasi dan Informasi), air, listrik merupakan bagian dari barang milik publik.
"Tujuan agar harga barang dan jasa di masyarakat akan lebih murah," katanya.
Redi mengatakan sudah seharusnya pemerintah daerah memberikan privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi, sebagai konsekuensi dari pernyataan bahwa jaringan telekomunikasi yang merupakan bagian milik publik.
Sejatinya privilege khusus terhadap sektor telekomunikasi tersebut sudah tertuang dalam PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, PP 46 tahun 2021 tentang Pos Telekomunikasi Penyiaran, PM Kominfo 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan kebijakan untuk mempercepat transformasi digital. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Simak Baik-Baik Pernyataan Jokowi soal Sindiran Megawati Tentang Orde Baru
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti