jpnn.com, JAKARTA - Basuki Tjahja Purnama atau Ahok baru-baru ini disindir oleh Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga.
Ahok dikritik dengan bahasa Komisaris Utama rasa Dirut Pertamina.
BACA JUGA: Anies Bungkam soal Formula E, Ferdinand Singgung Lidah Ahok
Pascasindiran itu PKS juga angkat bicara.
Politikus PKS Mulyanto menilai dalam kondisi Pertamina yang sulit karena belum berhasil menyelesaikan pembagunan kilang minyak di Tuban, keberadaan Komisaris Utama harusnya dapat meningkatkan pengawasan dan mendorong kinerja perusahaan agar lebih baik.
BACA JUGA: Reuni Akbar PA 212, Ferdinand: Merayakan Kemenangan Anies atau Ahok Masuk Penjara?
"Sebagai Komisaris Utama Basuki Tjahja Purnama atau Ahok harusnya bisa membantu Pertamina mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi bukan malah memperkeruh suasana dengan bicara sembarang," ujar Mulyanto seperti dikonfirmasi JPNN.com, di Jakarta, Selasa (30/11).
Anggota Komisi VII DPR RI itu menanggapi kisruh Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, dengan juru Kementerian BUMN.
BACA JUGA: Berita Terkini Kasus Anak Ahok Vs Ayu, Bakal Ada Tersangka?
Mulyanto menyebut komisaris ikut bertanggung jawab atas kinerja perusahaan yang dipimpin. Jadi, bila beberapa waktu lalu Presiden Jokowi memarahi Direktur Utama Pertamina maka sama artinya Presiden sedang memarahi Dewan Komisaris.
"Ahok harusnya paham dengan sistem tanggung renteng dalam pengelolaan perusahaan negara ini. Bukan malah bicara seolah dirinya bukan bagian dari Pertamina. Sebagai komisaris utama Ahok harusnya banyak bekerja bukan malah banyak bicara. Dia tidak bisa lepas tangan dengan kondisi Pertamina sekarang," tegas Mulyanto.
Mulyanto mengingatkan saat ini Pertamina punya tugas berat untuk menekan impor BBM termasuk gas LPG, yang selama ini menyumbang signifikan bagi defisit transaksi perdagangan, khususnya sektor migas.
Pertamina juga harus melaksanakan transformasi pemanfaatan energi fosil menjadi energi yang lebih bersih melalui strategi transisi energi.
"Jadi ketimbang bising di media atau berpolemik dengan kementerian BUMN, yang merupakan induknya, Ahok lebih baik fokus mendorong pembangunan kilang GRR Tuban," beber Mulyanto.
Mulyanto menyebutkan hampir 25 tahun sejak pengoperasian RU (Refinery Unit) VII Kasim di Papua 1997, maka praktis tidak ada pembangunan kilang baru Pertamina.
Pertamina berencana menambah dua kilang baru, yakni Kilang GRR Tuban dengan kapasitas terpasang 300 ribu bph (barel per hari) dan Kilang Bontang. Namun, realisasinya belum meyakinkan. Pembangunan Kilang Tuban terus molor, Sedang pembangunan Kilang Bontang dibatalkan.
"Dari total enam kilang yang ada dihasilkan BBM sebanyak 850-950 ribu bph," ungkap Mulyanto.
Dengan kebutuhan BBM hari ini yang sebesar 1,6 juta barel, maka praktis kekurangannya sebesar 800 ribu bph dipenuhi dari impor.
"Pada akhirnya, mendominasi defisit transaksi migas kita sebesar USD 7 miliar pada 2020," tegas Mulyanto. (mcr10/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Elvi Robia