Usia 16 Baru Masuk SMP, Tahu Indonesia Hanya Sulawesi

Kamis, 25 Agustus 2011 – 19:33 WIB

SEDIKITNYA 40.000 anak TKI tersebar di perumahan pekerja perkebunan kelapa sawit di Tawau, Sabah, MalaysiaMereka menghadapi problem besar, yakni pendidikan

BACA JUGA: Kisah Timnas Palestina Berusaha Bangkit di Tengah Situasi Negara yang Kacau

Hingga kini, mereka hanya memperoleh pendidikan setara kejar paket A dan B
Inilah laporan wartawan Jawa Pos Hilmi Setiawan yang baru pulang dari sana.
-------------
KABUT tipis menyelimuti jalan raya yang menghubungkan pusat Kota Tawau dengan areal perkebunan kelapa sawit Merotai (21/8)

BACA JUGA: Pak Hakim, Minggu Depan Saya Dicerai Suami

Sirene mobil Voorijder rombongan Mendiknas Mohammad Nuh yang meraung-raung memecah keheningan jalan sepanjang 50 kilometer yang beraspal mulus itu


Di dalam perkebunan kelapa sawit tersebut, tinggal ribuan kepala keluarga tenaga kerja Indonesia (TKI)

BACA JUGA: Gaya Hidup Nazaruddin di Mata Orang Dekatnya, sebelum Ditangkap KPK

Setelah tinggal belasan tahun, mereka kini sudah beranak pinakTak heran, areal perkebunan sawit Merotai juga dipenuhi anak-anak TKI usia sekolah.

Tetapi, muncul masalah besar dengan keberadaan anak-anak para TKI tersebutSalah satunya adalah masalah akses pendidikanCatatan dari Konsulat Republik Indonesia di Tawau menyebutkan, anak-anak TKI di Tawau berjumlah lebih dari 40 ribu

Dari jumlah tersebut, yang bisa mengenyam pendidikan setingkat SD tidak sampai separoSedangkan yang mengenyam pendidikan SMP hanya sekitar 500 anakItu pun, pendidikan SD dan SMP-nya hanya nonformalDengan begitu, ijazah yang mereka peroleh hanya ijazah seperti kejar paket A dan B.

Setelah rombongan menteri tiba, anak-anak yang belajar di pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) perkebunan kelapa sawit Merotai langsung berjajar rapiMereka menyambut kedatangan Nuh dengan tabuhan rebanaSeluruh siswa lantas memadati PKBM yang hanya terdiri atas tiga ruang kelas itu.

Di antara para siswa PKBM Merotai yang baru saja naik ke tingkat SMP, ada Nuranita binti NuddinBocah kelahiran Makassar, 12 Desember 1995, tersebut tinggal di perkebunan sawit itu sejak berumur dua bulanDia ikut Nuddin, ayahnya, dan Rosmiati, ibunya, yang bekerja sebagai buruh di tempat tersebutYa, meski usianya sudah 16 tahun, dia baru masuk kelas setara SMPPadahal, umumnya, anak seusia dia minimal sudah kelas 1 SMA.

Sambil bercerita tentang pengalaman belajar di dalam perkebunan sawit, bulir-bulir keringat muncul di kening NuranitaMaklum, dia ikut rombongan penabuh rebana yang menyambut kedatangan Nuh"Ini sekolah sayaKondisinya sudah lebih baik," kata dia dengan logat Melayu.

Penggemar musik Indonesia itu menuturkan, setahun terakhir pendidikan bagi anak-anak TKI di sejumlah perkebunan sawit di Tawau sedikit meningkatItu terjadi karena sudah ada PKBM yang membuka layanan belajar setingkat SMP"Sebelumnya, tidak adaSetelah lulus SD, ya tidak sekolah," jelas Nuranita, lantas bertepuk tangan untuk menyambut pidato wakil KBRI Kuala Lumpur yang menggebu-gebu.

Nuranita menceritakan, anak-anak lulusan SD tidak bisa sekolah di jenjang SMP milik pemerintah MalaysiaDari segi infrastruktur, sekolah tingkat SD di Tawau masih terbatasNamun, tidak demikian tenaga pendidik atau guruSelama ini, PKBM-PKBM itu telah memiliki cukup guru dari Malaysia dan Indonesia

Kebanyakan guru dari Malaysia mengajarkan mata pelajaran eksakSedangkan guru dari Indonesia bertugas mengajarkan pendidikan kewarganegaraan (PKn), bahasa Indonesia, dan pendidikan agama

Di antara guru asal Indonesia yang ikut nimbrung dalam agenda safari Ramadan Nuh, ada Ibnu HajarGuru kelahiran Jambi, 18 Agustus 1965, itu menuturkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki sistem yang bisa menjaga ketersediaan guru di TawauYakni, sistem perekrutan dan kontrak selama dua tahun"Kontrak saya habis tahun depan," ujar PNS di lingkungan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jambi itu.

Dengan blak-blakan, Ibnu menuturkan kepincut mengajar di pedalaman Tawau karena iming-iming gaji besarAyah Intan Morina, 16, dan Bobi Kurnia Hajar, 14, tersebut menyatakan, selama dikontrak dua tahun dirinya digaji Rp 15 juta per bulanGaji itu cukup besar jika dibandingkan dengan gajinya sebagai PNS yang tidak lebih dari Rp 5 juta.

Setelah bersaing dengan peminat guru yang lain, Ibnu dinyatakan lolosDengan tekad kuat, dia berangkat ke TawauDia meninggalkan keluarga kecilnya di JambiIbnu menyempatkan pulang kampung enam bulan sekali.

Dari hitung-hitungan finansial, Ibnu mengatakan bahwa gaji Rp 15 juta per bulan itu lebih dari cukupSebab, untuk bisa hidup tidak sengsara dan tidak berlebihan, dia cukup merogoh kocek Rp 4 juta sampai Rp 5 jutaDengan pengeluaran sebesar itu, Ibnu sudah bisa menggilir menu, mulai telor, ikan, hingga daging.

Jika dari sektor pendapatan Ibnu merasa cukup, tidak demikian kebutuhan batinnyaUntuk mengatasi rasa rindu dengan sang istri dan anak, dia memilih berpuasa"Jika sudah berpuasa, semua sudah lupaTinggal berfokus ke urusan mengajar," jelas dia.

Ibnu lantas menuturkan kurikulum pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKIPada tahun pertama, pelajaran PKn yang diberikan terkait dengan pengenalan pulau-pulau IndonesiaIbnu cukup kaget ketika awal-awal mengajarSebab, saat itu anak-anak TKI tersebut mengenal Indonesia hanya terdiri atas satu pulauYaitu, Pulau Sulawesi"Setelah saya telusuri, kebanyakan TKI di sini berasal dari Bugis," ungkap Ibnu.

Akhirnya, secara perlahan Ibnu menjelaskan kepada para siswa didiknya bahwa Indonesia terdiri atas ribuan pulauMulai yang besar-besar hingga yang kecil-kecilMeskipun ada siswa kelas I SD yang sudah berumur belasan tahun, Ibnu mengatakan butuh waktu lebih dari satu semester untuk membuat mereka benar-benar hafal dan paham tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah berhasil mengenalkan pulau-pulau Indonesia, misi Ibnu selanjutnya adalah mulai menanamkan budaya-budaya IndonesiaSebagian di antara materi yang paling ditekankan adalah penanaman budaya ramah tamah dan sopan santunMenurut Ibnu, anak-anak TKI yang lahir dan besar di perkebunan sawit cenderung berperilaku kurang sopan"Mereka tidak sungkan-sungkan melompat dan naik ke pundak guru," terang dia.

Ibnu menduga, perilaku sehari-hari di keluarga berperan besar dalam membentuk sikap kurang sopan ituDia menjelaskan, sejak pagi buta mereka ditinggal ayah dan ibu masing-masing untuk bekerja di kebun kelapa sawitAnak-anak dibiarkan keluyuran dan bermain bersama anak sebaya tanpa ada yang menjaga dan mengawasi.

Setelah budi pekerti khas Indonesia tertanam, selanjutnya mereka diajari tentang sejarahMisalnya, diperkenalkan dengan pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaanSelain itu, mereka mulai diperkenalkan dengan lagu kebesaran Indonesia Raya.

Menurut Ibnu, pelajaran yang paling sulit diterima anak-anak TKI adalah pelajaran bahasa Indonesia"Penyebabnya adalah perbedaan persepsi tentang sebuah kata," jelasnyaDia mencontohkan, anak-anak para TKI itu lebih mengenal kata menjemput dengan arti mengundang daripada menjemput dengan arti mendatangi.

Yang membuat Ibnu semakin bersemangat mengajar adalah terus bertambahnya PKBM yang berjenjang setara SMPMenurut dia, dengan PKBM setingkat SMP, pola pikir para anak TKI bisa diubahDari pola pikir yang mengutamakan bekerja, bekerja, dan bekerja berubah menjadi belajar, belajar, dan belajar.

Ibnu mengungkapkan, pemilik perkebunan memang sedikit mengeset keluarga para TKI untuk tidak bersekolahKalaupun bersekolah, pendidikan mereka paling setingkat SD sajaDengan cara itu, mereka tidak kesulitan mencari tenaga kerja baruAnak-anak TKI yang sudah berusia belasan tahun dan tidak bersekolah bisa langsung mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi pekerja perkebunan.

Di akhir kunjungan tersebut, Nuh memaparkan rencana pemerintah mengayomi pendidikan anak-anak para TKI"Bagaimanapun, mereka anak-anak Indonesia," jelas Nuh sambil melihat kondisi bangunan PKBMHanya, anak-anak itu mengikuti orang tua mereka yang terpaksa mencari rezeki di Malaysia.

Komitmen pemerintah, lanjut Nuh, adalah meningkatkan akses belajar anak-anak TKI ituDia mengatakan, tahun ini dibuka enam PKBM setingkat SMP baruJadi, total ada 13 PKBM setingkat SMP di Tawau.

Untuk sementara, ijazah siswa yang belajar di PKBM atau yang disebut juga dengan learning centre itu setingkat dengan ijazah program kejar paket A dan B"Ke depan, kami upayakan ijazah setara dengan pendidikan formal," terang diaSelain itu, untuk membuka akses pendidikan yang lebih tinggi, Nuh berupaya membangun sekolah menengah kejuruan (SMK) di Pulau Sebatik(*/c11/nw)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keluarga Mulyadi, Keluarga Paling Sakinah Se-Nusantara Versi Kementerian Agama


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler