jpnn.com - SURABAYA – Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Tasman Goeltom menegaskan agar kewenangan perlindungan saksi dan korban dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diberikan kepada LPSK.
Menurut Tasman, dari awal sampai akhir tidak ada satupun tertulis tentang LPSK dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saat ini revisi KUHAP tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
BACA JUGA: Dirjen Pajak Dicecar Soal Rapat Bailout Century
“Di KUHAP tidak ada penyebutan tentang LPSK. Kami tidak muluk-muluk, hanya mengusulkan saja dalam KUHAP itu perlindungan saksi diberikan atau kewenangan kepada LPSK,” kata Tasman saat Konsultasi Publik bertajuk “Kemana Arah Perubahan UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (17/9).
Dia menegaskan, hal itu merupakan salah satu tujuan kemana arah revisi UU 13. Dia menegaskan, arah kedua dalam revisi UU nomor 13 adalah perlu penguatan terhadap LPSK. Salah satunya dengan pembentukan LPSK daerah. Saat ini, tidak ada perintah LPSK boleh mendirikan LPSK di daerah. Meskipun dalam UU 13 sudah ada mengatur, namun itu hanya kalimat permohonan saja. “Kenapa tidak kuat karena LSPK daerah dapat dibentuk bila diperlukan. Tidak ada kalimat perintah, hanya kalimat permohonan saja,” beber dia.
BACA JUGA: Siarkan Konvensi Demokrat, TVRI Dipanggil DPR
Tasman berharap LPSK mendapatkan kewenangan yang tertulis jelas di dalam UU. Memang, kata dia, pada UU 13 mengatur tugas LPSK. “Namun menjadi tidak jelas karena tidak ada kewenangannya,” katanya.
Selain itu dia pun berharap agar LPSK dapat benar-benar diberikan kewenangan penuh melindungi saksi dan korban. Termasuk Justice Collaborator dan Whistle Blower. Sebab, kata dia, selama ini ketika orang mengungkap kasus, maka bisa dilapor balik dan dipenjara. “Ini yang kami alami. Kami tidak diperkenankan panggil penyidik dan tidak bisa ambil Justice Collaborator untuk ditempatkan di rumah aman,” bebernya.
BACA JUGA: Bacakan Pledoi, Manajer Master Steel Menangis
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan sebenarnya pada Rapat Dengar Pendapat DPR dan LPSK 2010 sudah menyimpulkan bahwa UU 13 harus direvisi. Menurutnya, hal itu tak terlepas dari kasus yang menimpa Komjen Susno Duadji.
Saat itu Susno mengungkap kasus mafia perpajakan yang diduga dilakukan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan. Kemudian, ada mafia hukum yang bermain di sana. Hukuman Gayus pun menjadi ringan.
Ketika itu pula, Susno berupaya membongkar sehingga beberapa pihak diproses hukum. Namun, lanjut Haris, tak lama kemudian justru Susno dijadikan tersangka kasus Arwana dan dana pengamanan pemilu Jawa Barat.
“Itu terjadi setelah Susno membongkar kasus (Gayus),” kata Haris. Lantas, Susno mendapat dukungan dari Komisi III DPR. Namun, Komisi III DPR tak puas dengan perlindungan LPSK saat itu. “Karena Susno sebagai Whistle Blower ditahan aparat penegak hukum,” bebernya.
Namun, kata Haris, LPSK saat itu tidak punya kewenangan untuk menolak penahanan Susno. Sebab, menurut dia, Susno penahanan Susno dilakukan sesuai hukum acara pidana karena yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana. “Sementara persepsi dewan tuduhan kepada Susno tidak genuine, karena muncul setelah beliau jadi Whistle Blower. Kalau begitu LPSK harus diperkuat revisi UU harus dilakukan karena kasus Susno membuat LPSK menjadi tidak maksimal,” kata Haris.
Karenanya, ia menegaskan, kewenangan LPSK harus diperkuat agar dapat lebih optimal memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendagri Bantah Ada Penyimpangan Dana Bansos
Redaktur : Tim Redaksi