Utang Luar Negeri Indonesia Membengkak, Anis: Pengendalian Akan Makin Sulit

Senin, 03 Mei 2021 – 14:22 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati menilai pemerintah akan semakin kesulitan menangani defisit fiskal karena membengkaknya Utang Luar Negeri Indonesia (ULN). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati menilai pemerintah akan semakin kesulitan menangani defisit fiskal karena membengkaknya Utang Luar Negeri Indonesia (ULN).

Menukil catatan Bank Indonesia (BI) ULN Indonesia tembus USD 422,6 miliar per akhir Februari 2021 atau setara Rp 6.164,46 triliun (untuk kurs Rp 14.587 per USD).

BACA JUGA: Pemerintah Tetapkan Defisit APBN 2022 Mencapai 4,51 hingga 4,85 Terhadap PDB

Posisi itu naik 4 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 2,7 persen (yoy).

"Angka ini menunjukkan utang luar negeri Indonesia semakin membengkak," kata Anis dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (3/5).

BACA JUGA: Soal Kenaikan ULN Indonesia, Ekonom: Hati-hati Jebakan Utang

Menurut Anis, DPR RI sudah sering mengingatkan pemerintah terkait beban ULN Indonesia tersebut.

Kendati demikian, dia menyebut defisit APBN makin melebar dan utang melambung. Tetapi pemerintah gagal membelanjakan utang.

BACA JUGA: Utang Luar Negeri Indonesia Naik, Pemerintah Diminta Lakukan 5 Cara Ini

“Ini bisa terlihat dari adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada tahun 2019 menjadi 6,3 persen pada tahun 2020 dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021,” paparnya.

Wakil ketua Badan AKuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menjelaskan bahwa memang defisit langkah normal di saat resesi, akan tetapi tetap memerlukan kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini.

Terlebih, lanjut dia, sebagian besar defisit APBN dibiayai oleh utang. “Artinya semakin lebar defisit, maka utang juga semakin besar,” katanya.

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu mengakui untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu harus menggunakan utang. Tetapi yang seringkali terjadi, pemerintah justru gagal membelanjakan utang tersebut.

"Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp10-30 Triliun setiap tahunnya," ujar Anis.

Lebih lanjut Anis menegaskan, pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).

Dia membeberkan data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN sempat tersendat diawal-awal, lalu digesa di akhir tahun. Realisasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sampai dengan akhir 2020 tercatat Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu sejumlah Rp 695,2 triliun.

“Hal ini tentu akan merugikan, karena utang yang sudah ditarik tetapi tidak maksimal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” tutur Anis.

Anis menyebut selama beberapa tahun terakhir primary balance Indonesia juga selalu tercatat negatif.

Artinya, sambung dia, pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang. Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama.

“Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” nilai Anis.

Anis memerinci catatan penting bagi pemerintah, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa ketika masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat.

Pada awalnya 24 persen pada 2014 menjadi 30,2 persen pada 2019. Peningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB.

Artinya, kata dia utang pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.

Pada 2020, debt to GDP ratio diperkirakan mencapai 37 persen dan terus meningkat menjadi 41 persen pada 2021.

“Ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” tegasnya.

Sebelumnya, Ekonom Senior INDEF Prof Dr Didik J Rachbini memperkirakan Jokowi bakal mengakhiri pemerintahannya pada 2024 dengan meninggalkan utang USD 10.000 juta.

Didik tidak mengkhawatirkan utang sebesar itu asalkan pertunbuhan ekonomi Indonesia di atas tujuh persen hingga Jokowi mengakhiri pemerintahannya.

"Namun, pertumbuhan ekonomi pada masa normal saja maksimal hanya 5,6 persen. Bahkan pada masa pandemi ini pertumbuhan malah minus," katanya. (mcr10/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler