jpnn.com - JPNN.com - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengaku prihatin melihat cara-cara pemerintah mengelola fiskal. Ia menilai pemerintah terkesan seperti kehilangan akal dalam menyehatkan keuangan negara selain dengan jalan menumpuk utang.
"Bukannya justru menyehatkan, cara-cara yang ditempuh pemerintah itu malah sedang menjerumuskan bangsa ini kepada ancaman guncangan keuangan. Kasarnya, pemerintah gali lubang untuk tutup lubang," kata Heri dalam pernyataan persnya, Jumat (30/12).
BACA JUGA: Harga Cabai Rawit Merah Tembus Rp 80 Ribu Per Kilogram
Heri menilai Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani kurang kredibel dalam mengelola fiskal tahun ini. Hampir setiap persoalan direspons dengan kebijakan menambah utang baru. Itu bisa dilihat dari SBN yang kian menggemuk dengan total sudah mencapai Rp 2.707,81 triliun. Sementara utang lainnya sebanyak Rp 731,98 triliun.
Gemuknya SBN untuk membiayai defisit menurutnya semakin memberi ancaman baru. Kontribusi SBN terhadap total pembiayaan utang rata-rata mencapai 101,8 persen per tahun. Sedangkan terhadap total pembiayaan anggaran mencapai 103,3 persen per tahun (RAPBN 2017).
BACA JUGA: Hotel Mewah Ini Jadi Destinasi Wisata Baru di Batam
"Kecanduan yang berlebih terhadap SBN tersebut sudah pasti akan meningkatkan risiko fiskal," tegasnya.
Yang paling miris, lanjut politikus asal Jawa Barat ini, dari struktur kepemilikan SBN domestik yang diperdagangkan (tradable), tren kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah cenderung meningkat. Pada 2011, porsi kepemilikan asing masih 30,5 persen, dan kemudian per September 2016 melonjak menjadi 39,2 persen, naik hampir 10 persen.
BACA JUGA: Ciptakan Lapangan Kerja, TSE Beri Warga Papua Keahlian
"Resikonya adalah adanya ancaman pembalikan dana secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar (sudden reversal) yang dapat berdampak sistemik, sehingga pasti menekan kestabilan perekonomian nasional.
Hal lain yang dinilai Heri lebih menyedihkan adalah pembayaran bunga utang telah mencapai Rp 221,2 triliun pada tahun 2017. Artinya telah terjadi kenaikan 15,8 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp 191,2 triliun. Jumlah itu setara dengan 40 persen alokasi belanja non Kementerian/Lembaga.
"Dari gambaran itu, kita tidak bisa berharap banyak untuk pencapaian program kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi riil dari cara-cara pengelolaan fiskal seperti itu. Buktinya, uang hanya habis untuk membayar utang yang semakin bertumpuk," sebutnya.
Heri berharap pemerintah bisa menghadirkan solusi atas jeratan defisit anggaran yang makin menganga lewat kebijakan fiskal yang kredibel. Ironisnya, dalam kurun lima tahun terakhir, realisasi defisit anggaran cenderung meningkat.
Penyebabnya, rata-rata realisasi belanja tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh kisaran 3 persen. Bahkan defisit APBNP 2015 melonjak melebihi target yaitu mencapai 2,59 persen terhadap PDB. Pada APBNP 2016 pemerintah kembali menargetkan defisit anggaran sebesar 2,35 persen.
Bahkan, pada APBN 2017, pemerintah kembali menaikkan defisit anggaran sebesar 12,9 persen menjadi Rp 330,2 triliun atau mencapai 2,41 persen PDB. Yang paling mengkhawatirkan, melihat realisasi fiskal sepanjang 2016, diperkirakan defisit akan meningkat menjadi 2,7 persen terhadap PDB.
"Ini adalah tragedi bagi keuangan nasional kita. Saya berharap pemerintah terus menghadirkan postur fiskal yang kredibel. Dan itu harus nyata jangan sampai habis di wacana dan kenyataannya tidak terbukti," pungkasnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Modernisasi Alat Pertanian Untuk Kedaulatan Pangan
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam