UU Cipta Kerja Cabut Sanksi Perusak Lingkungan, CIPS: Bahaya!

Selasa, 06 Oktober 2020 – 23:17 WIB
Seorang buruh peserta unjuk rasa membawa poster penolakan terhadap Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Foto : arsip JPNN.COM/Fathra Nazrul Islam

jpnn.com, JAKARTA - Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai, pemberlakuan sanksi dan denda bagi pelaku usaha yang membahayakan lingkungan harus tetap dilakukan dalam Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Felippa menyayangkan relaksasi persyaratan lingkungan yang dicabut dari Undang-Undang.

BACA JUGA: Satgas Covid-19 tak Pengin Ada Klaster Baru dari Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja

Oleh karena itu, ia meminta agar Pemerintah dapat meninjau ulang persyaratan lingkungan yang dihilangkan dari UU Cipta Kerja dan akan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah.

"Penghapusan denda dan sanksi perlu ditinjau ulang oleh pemerintah mempertimbangkan dampak dari kerusakan lingkungan terhadap masyarakat," kata Felippa di Jakarta, Selasa.

BACA JUGA: MUI Kecam Pengesahan RUU Cipta Kerja, Anwar: Oligarki Politik Makin Jelas

Menurut dia, dihilangkannya sanksi dan denda akan makin meminimalisasi kehadiran pemerintah dalam upaya menjaga kelangsungan lahan.

Setidaknya, ada acuan dari pemerintah yang dapat dilihat oleh para pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengelola lahan.

BACA JUGA: Inilah Aturan PHK dalam UU Cipta Kerja

Ia meminta pemerintah dapat memastikan masuknya investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) tidak serta merta menghilangkan kewajiban para investor untuk menjaga kelangsungan lingkungan.

Khususnya pada investasi sektor pertanian, keberadaan lahan sangat penting untuk memastikan kelangsungan sektor pertanian itu sendiri.

Felippa pun merekomendasikan beberapa hal terkait persyaratan lingkungan yang tetap perlu dipastikan oleh pemerintah dari para investor.

Pertama adalah tetap diperlukannya kriteria untuk analisis dampak lingkungan, analisis dan manajemen risiko bagi hasil pertanian dengan rekayasa genetik, dan sistem tanggap darurat untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.

Selain itu, pemerintah tetap perlu memberlakukan adanya denda bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi standar mutu dan persyaratan teknis minimal.

Pemberlakuan sanksi bagi pelaku usaha yang membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga tetap diperlukan.

Kelangsungan lingkungan dan kelangsungan sektor pertanian berhubungan sangat erat.

Sektor pertanian berkontribusi terhadap perubahan iklim karena adanya deforestasi, manajemen air melalui irigasi, degradasi tanah dan polusi yang disebabkan penggunaan pupuk dan pestisida yang kurang baik.

Perubahan iklim akan berdampak buruk terhadap pertanian karena cuaca yang tidak menentu mengakibatkan masa panen tidak menentu.

Cuaca ekstrim seperti banjir atau kemarau berkepanjangan juga dapat mengakibatkan gagal panen.

Hal tersebut, kata dia, tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian.

Lahan pertanian harus terus dimasukkan dalam prioritas pembangunan untuk memastikan konsistensi dan peningkatan produksi pangan.

"Jika pemerintah mau terus mendorong pertumbuhan sektor pertanian seperti yang terlihat dari dimudahkannya investasi dan izin usaha pertanian, pemerintah juga patutnya memperhatikan isu pengelolaan lahan dan lingkungan ini," kata dia.

Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat kebakaran hutan pada 2019 mencapai 5,2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp72,75 triliun.

Kebakaran hutan dan lahan seluas 1,6 juta hektare juga menyebabkan kerugian kesehatan seperti gangguan pernapasan akut pada masyarakat sekitar dan kerugian lingkungan karena emisi. (antara/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler