jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf menilai, banyak poin poin di Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baik tidak dijelaskan sejak awal. Salah satunya adalah menghilangkan ego sektoral, perizinan yang berbelit serta kepastian waktu dan biaya berinvestasi.
Dia menerangkan, terkait hambatan birokrasi dalam perizinan dunia usaha bagi para investor yang akan menginvestasikan modalnya di Indonesia. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk menciptakan lapangan kerja lantaran investor bisa membangun usaha dengan maksimal
BACA JUGA: Sukamta Nilai UU Cipta Kerja Menghadirkan Celah Liberalisasi dalam Industri Alat Utama Pertahanan
Kemudian, ada penjaminan dari pemerintah ketika ada PHK kepada buruh dari pengusaha, yakni terkait pesangon yang sebagian ditanggung oleh perusahaan, dan sebagian lagi oleh pemerintah.
"Meskipun juga kenapa jadi beban pemerintah? Karena pengusaha menyatakan, ya tidak sepenuhnya oleh kami, negara pun harus menjamin terhadap situasi kondisi perusahaan," kata Asep saat dihubungi.
BACA JUGA: Polisi Sudah Blokir Jalan Menuju Istana sebelum BEM SI Berdemo Tolak Cipta Kerja
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengatur soal outsourcing. Menurutnya, pegawai outsourcing atau kontra semakin jelas status hukum atau basisnya, dari mereka adalah kompetensi bukan waktu.
"Kalau kompetensinya bagus, dibutuhkan, ya akan terus dijadikan karyawan. Kalau sekarang mah kan, outsourcing itu sekedar waktu, waktunya ya habis (kontrak) ya sudah tidak jelas nasibnya," terangnya.
BACA JUGA: Survei: Hanya 31 Persen Publik Tahu UU Cipta Kerja, Hampir Semua Mendukung
Asep menambahkan, hal-hal yang bagus dari UU Cipta Kerja ini tidak pernah didiskusikan kepada publik dalam jangkauan yang luas, khususnya kepada para tenaga kerja. Jika pemerintah partisipatif dan ada pelibatan publik yang luas, khususnya dari tenaga kerja, mungkin daya tolak terhadap UU Cipta Kerja ini akan kurang.
"Ketika dialog itu dilakukan, sudah jadi (UU Ciptaker) kan mereka menjadi merasa tidak punya makna. Jadi saya kira problem utama dari masalah ini adalah komunikasi yang sangat lemah dari pemerintah," tutupnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil