jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ikut menyikapi pro dan kontra keberadaan Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-undang yang juga disebut Omnibus Law itu telah ditanda tangani Presiden Joko Widodo.
BACA JUGA: UU Cipta Kerja Kenalkan Konsep Bank Tanah, Bakal Ampuh Tekan Spekulan
Dengan demikian, keberadaan Cipta Kerja yang menyulut banyak kontroversi telah final menjadi undang-undang, setelah diumumkan oleh Menkumham dalam lembaran negara, Selasa (3/11) kemarin.
Menurut Yusril, ada sejumlah masalah yang dihadapi pemerintah dan seharusnya juga DPR dengan disahkannya UU Cipta Kerja.
BACA JUGA: Pergerakan Rupiah Hari Ini Sangat Ditentukan dari Hasil Pilpres AS
Antara lain, penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama kalangan pekerja. Mereka menilai UU Cipta Kerja sebuah kemunduran dan merugikan kepentingan para buruh.
Akibatnya, para buruh yang digerakkan serikat pekerja dan didukung elemen lain menggelar aksi unjuk rasa.
BACA JUGA: Profesor Yusril Bicara Soal Subholding Pertamina
Kondisi tersebut makin menambah runyam keadaan akibat pandemi Covid 19.
"Sejumlah akademisi dan aktivis sosial juga mengkritik undang-undang yang proses pembuatannya kurang transparan. Pembahasannya terkesan tergesa-gesa sehingga menabrak undang-undang lain," ujar Yusril dalam keterangannya, Rabu (4/11).
Para akademisi menilai Cipta Kerja terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lanjutan kepada peraturan pemerintah maupun kepada peraturan presiden.
Banyaknya pendelegasian pengaturan menimbulkan kekhawatiran para akademisi akan makin membesarnya kekuasaan presiden. Hal tersebut potensial menabrak asas-asas demokrasi.
"Potensi seperti itu dianggap bertentangan dengan cita-cita reformasi 22 tahun yang lalu," ucapnya.
Yusril juga mengatakan, sudah ada pihak-pihak yang mendaftarkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum ditandatangani Presiden Jokowi.
Presiden sendiri dalam statemennya 9 Otober lalu, mempersilakan elemen-elemen masyarakat yang tidak puas dan menolak UU Cipta Kerja, mengujinya di MK.
"Keinginan mereka yang ingin menguji UU Cipta Kerja ke MK, baik uji formil maupun materil memang pantas didukung, agar MK secara objektif memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan undang-undang, termasuk melakukan amanden terhadap undang-undang, atau tidak," katanya.
Yusril meyakini MK akan menggunakan norma-norma dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15/2019 untuk memberikan penilaian.
"Sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah proses pembentukan undang-undang yang isinya mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung," ucapnya.
"Sangat mungkin dalam proses pembentukannya omnibus law akan mengubah undang-undang yang ada di samping tujuan utamanya membuat pengaturan baru terhadap sesuatu masalah."
Persoalannya kemudian, kata Yusril, apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap undang-undang lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
Yusril memprediksi debat tentang kesesuaian prosedur akan sangat panjang melibatkan berbagai sudut pandang yang berbeda.
Menurutnya, jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang-undang melalui pembentukan omnibus law tidak sejalan dengan UU Nomor 12/2011. Meski demikian, tentu akan ada pandangan yang sebaliknya.
Yusril lantas menyarankan pemerintah dan DPR berhati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja.
Jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15/2019, MK bisa membatalkan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945.
Ia juga menyebut, uji materil nantinya akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam Cipta Kerja terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945.
Mengingat cakupan masalah dalam UU Cipta Kerja begitu luas, maka setiap pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka nantinya.
Soal Salah Ketik
Yusril secara khusus juga menyoroti persoalan salah ketik dalam UU Cipta Kerja yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena proses pembentukan undang undang dilakukan tergesa-gesa, sehingga dianggap mengabaikan asas kecermatan.
"Saya berpendapat, kalau hanya salah ketik tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam undang-undang itu, presiden diwakili Menko polhukam, Menkumham atau Mensesneg dan pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu," ucapnya.
Kemudian, naskah yang telah diperbaiki diumumkan kembali dalam lembaran negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi.
Yusril menilai, presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu.
Ia juga menyatakan, salah ketik dalam naskah RUU yang telah disetujui bersama antara presiden dan DPR dan dikirim ke sekretariat negara telah beberapa kali terjadi.
Mensesneg yang segera mengetahui hal tersebut, karena harus membaca naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke presiden untuk ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis.
Setelah diperbaiki baru diajukan lagi ke presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg.
"Kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru diketahui setelah presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam lembaran negara," katanya.
Yusril menyarankan pemerintah membentuk tim penampung aspirasi, mengingat banyaknya komplain terhadap UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Tim nantinya bertugas menampung aspirasi masyarakat yang tidak puas atas undang-undang tersebut.
Menurutnya, langkah membentuk tim ini penting untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah tanggap terhadap aspirasi dan sadar bahwa UU Nomor 11/2020 perlu disempurnakan.
Ia menilai, terjadinya demo besar-besaran di berbagai kota tidak dapat dipandang sepi. Aspirasi para pekerja, akademisi, aktivis sosial dan mahasiswa sangat perlu mendapat tanggapan dari pemerintah sebagai pelaksanaan demokrasi.
Pemerintah juga harus punya keberanian berdialog dengan elemen masyarakat yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja.
Dengan dialog, pemerintah akan menyadari bahwa UU Cipta Kerja mengandung banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan.
Tim penampung aspirasi, kata Yusril, dapat menerima sebanyak mungkin masukan elemen-elemen masyarakat dalam menyusun peraturan pemerintah yang diperlukan untuk menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja nantinya.
"Selain itu, dialog untuk menerima masukan sekaligus berfungsi menjelaskan hal-hal yang memang perlu dijelaskan kepada rakyat," katanya.
Sebab, seringkali elemen-elemen masyarakat protes dan menolak sesuatu tanpa pemahaman yang memadai tentang apa yang mereka protes.
Menurut Yusril, di zaman ketika teknologi informasi berkembang demikian canggih, semakin banyak orang malas membaca dan menelaah sesuatu dengan mendalam.
Pemahaman hanya dibentuk oleh tulisan-tulisan singkat dan audio-visual yang terkadang memelesetkan sesuatu, sehingga jauh dari apa yang sesungguhnya harus dipahami.
"Nah, tugas Pemerintah menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan UU Cipta Kerja dengan bahasa yang mudah dipahami semua kalangan. Tugas itu memang melelahkan, tetapi pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali melakukannya," pungkas Yusril.(gir/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Ken Girsang