UU Cipta Kerja Membuldoser Hambatan Bagi Jalan Ekonomi Indonesia

Rabu, 14 Oktober 2020 – 19:27 WIB
Melalui RUU Cipta Kerja, pemerintah siapkan kebijakan pemulihan ekonomi pascapandemi corona. Foto dok Kemenko Perekonomian

jpnn.com, JAKARTA - CokroTV mengadakan Web Seminar (Webinar) pada Selasa 13 Oktober 2020. Acara itu mengundang beberapa narasumber yang membahas tentang UU Cipta Kerja dan Kaitannya dengan Kepentingan Publik.

Menurut Peneliti SMRC Saidiman Ahmad, Omnibuslaw adalah bagian dari cita-cita besar Pak Jokowi. UU Cipta Kerja ini muncul untuk menjawab tantangan ekonomi Indonesia. Karena Indonesia diperkirakan tahun 2040 atau 2045 akan menjadi Indonesia yang maju.

BACA JUGA: Hergun Gerindra: UU Cipta Kerja Karpet Merah Bagi UMKM

“Omnibus law bagian dari aspek institusional yang meratakan hambatan bagi jalan ekonomi. Aspek itu di antaranya, perizinan yang berbelit, aspek birokrasi yang rumit, dan seterusnya,” jelasnya.

Saidiman menyebut UU Cipta kerja adalah rencana besar pembangunan Jokowi untuk Indonesia di masa depan. Ia tidak setuju jika UU itu dikaitkan dengan kepentingan para pengusaha saja.

BACA JUGA: SMRC: UU Cipta Kerja Bentuk Perlawanan Jokowi terhadap Oligarki

“jadi ini bukan ujug-ujug titipan siapa, itu adalah cara berpikir yang terlalu pendek. Saya melihatnya ini rangkaian cita-cita besar Pak Jokowi untuk membangun Indonesia,” katanya.

Sementara itu, menurut Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indahsari, policy atau kebijakan apa pun yang dibuat pemerintah, memang cukup drastis dan dramatis mengubah tatanan dan prosedur yang ada. Apalagi Omnibus Law ini yang sempat memicu demo di berbagai wilayah.

BACA JUGA: Warga Banyumas Turun ke Jalan, Tetapi Bukan Menolak UU Cipta Kerja

Pada dasarnya UU Cipta Kerja mengadopsi UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaaan. Menurut Dita, apa yang relevan pada 17-20 tahun yang lalu belum tentu relevan di tahun 2020. Maka yang masih baik, bagus dan cocok itu diadopsi di UU Cipta Kerja.

“Mana-mana yang masih baik, bagus dan cocok itu yang kita adopt, dan itu banyak yang diadopt di UU Cipta Kerja ini. Tapi yang tidak relevan itu tentu tidak bisa kita serap lagi. Karena situasi telah berubah, ekonomi telah berubah. Teknologi berkembang. Jenis pekerjaan bertambah, menjadi lebih bervariasi,” kata Dita.

Pemeringtah, lanjut Dita, juga perlu mengkomparasi situasi dunia. Karena Indonesia adalah bagian dari lingkungan ekonomi global. Namun selama ini ada beberapa kelemahan yang membuat negara Indonesia sulit bersaing.

Di antaranya, menurut data dari bank dunia tahun 2019, pesangon di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Untuk negara-negara Asean, Malaysia memberikan pesangon 20 bulan gaji, Filipina 20 bulan gaji, Vietnam 10 bulan gaji, Thailand 10 bulan gaji. Tapi Indonesia 32 bulan gaji.

“Sementara tingkat produktivitas kita itu nomor tiga dari bawah. Di bawah Banglades dan Laos. Gak seimbang antara input dengan output,” jelas Dita.

Dita menuturkan, pesangon ini adalah salah satu isu yang menimbulkan keresahan dan kemarahan karena ada pengurangan pesangon dari 32 menjadi 19 bulan gaji. Jumlah itu dikurangi karena di antara negara-negara di Asia, Indonesia menjadi yang tertinggi.

Karena faktanya, banyak perusahaan yang tidak mampu memberikan pesangon sejumlah itu. Undang-undang No. 13 itu bagus di atas kertas, lanjut Dita, tapi tidak aplicable dalam pelaksanaan. Jumlah 32 bulan gaji memang bagus, sangat protektif terhadap pekerja, tapi dalam pelaksanaan teman-teman (buruh) tidak mendapat sejumlah itu. Mereka hanya mendapat 15-16 bulan gaji.

“Ada hal-hal bagus di UU Cipta Kerja, seperti ada jaminan kehilangan pekerjaan. Ini adalah program baru yang tidak ada di UU sebelumnya,”

Selanjutnya Dita menyebutkan polemik soal tenaga kerja asing. Ada tuduhan bahwa pemerintah sengaja membiarkan orang asing, terutama yang berasal dari negeri Cina untuk mengambil alih lapangan pekerjaan di indonesia. Itu tidak benar. Persyaratan untuk memasukkan tenaga kerja asing seperti yang tercantum pada UU No. 13 masih diadopsi.

“Pemerintah memprioritaskan tenaga kerja dalam negeri selama kompetensinya memungkinkan untuk jabatan itu,” terangnya.

Dalam webinar itu, Dita juga membahas soal isu lain seperti soal kontrak, cuti dan PHK. Banyak hoax yang beredar di tengah masyarakat dan itu semua tidak benar. Sebab soal kontrak, cuti dan PHK masih sama dengan ketentuan UU lama.

Hal yang sama juga disesalkan oleh Wakil Ketua Umum KADIN Shinta Widjaja Kamdani. Menurutnya, banyak pihak yang mungkin tidak tahu substansi UU tersebut, sehingga banyak salah persepsi. Padahal fakta sebenarnya tidak demikian.

“Salah satu permasalahan terbesar di Indonesia ini adalah kita memang membutuhkan reformasi struktural. Ini kelihatan dari permaslahan-permasalahan yang kita hadapi setiap hari,” jelas Dita.

Banyak orang mengatakan Indonesia akan menjadi negara maju, Indonesia menjadi lima besar ekonomi dunia. Cita-cita ini sungguh sangat indah, kata Dita, tapi orang banyak mesti mengetahui bagaimana caranya untuk mencapai cita-cita tadi.

“Indonesia ini negara yang paling banyak regulasinya. Regulasi pusat maupun daerah. Juga perizinannya, tidak cuma banyak, tapi juga tumpang-tindih. Pusat dan daerah kadang-kadang ada yang overlap. Salah satu sisi positif UU Cipta Kerja ini adalah mengharmonisasi aturan dan perizinan yang ada,” katanya.

Selain reformasi struktural yang harus dilakukan melalui UU Cipta Kerja ini, Dita menyebutkan bahwa reformasi birokrasi juga harus terus dilanjutkan oleh pemerintah.

Di forum yang sama, Gubernur Jawa Tengah Gajar Pranowo juga menyatakan keprihatinan terhadap banyaknya peserta demo yang tidak memahami substansi. Bahkan Ganjar juga menyebutkan, pihak yang didemo juga ada yang tidak paham dengan UU Cipta Kerja. Mereka belum menelaah isi dan maksudnya, tapi sudah heboh menolaknya.

Sejak awal Ganjar sudah mengikuti wacana tentang Omnibus Law itu. Ia menyimak paparan pakar hukum yang mengemukakan negara yang telah sukses melakukannya, begitu juga dengan negara yang gagal mengaplikasikannya. Ganjar mengikuti proses itu jauh sebelum UU Cipta Kerja ini diketok. Sehingga ia menyadari pentingnya UU ini bagi iklim usaha.

“Kalau kita bicara kepentingan, ini undang undang keren banget. Karena Investasi bisa masuk cepat,” jelas Ganjar.

Lebih jauh dia memaparkan tentang persaingan global. Menurutnya, saingan setiap pengusaha di setiap provinsi bukan provinsi lain, tapi negara lain. Oleh sebab itu diperlukan kepekaan untuk menghadapi persaingan usaha secara global.

“Masak saya disuruh bersaing dengan Jabar, masak saya harus bersaing dengan Jatim? Enggaklah. Kita saingannya Vietnam. Samsung produksi globalnya ada di Vietnam dan kita pakai Samsung semua kok,” terang Ganjar.

Ganjar juga menceritakan ketika ditanya, kenapa tidak kirim surat aspirasi buruh tentang UU Cipta Kerja kepada presiden seperti beberapa gubernur lain? Ganjar menegaskan tidak perlu memakai cara seperti itu. Dia mengaku menempuh jalan lain, yaitu langsung meminta keterangan secara jelas pada menteri dan DPR melalui telpon.

“Saya enggak pakai surat-suratan, saya langsung telpon tiga menteri. DPR saya telpon,” katanya.

Hal itu dilakukan Ganjar mengingat kompleksitas keadaan yang dihadapi bangsa ini. Di antaranya sedang ada pandemi, pengangguran, ekonomi butuh tumbuh, investasi mesti cepat masuk. Kalau semuanya sulit, mereka pasti meninggalkan Indonesia. Atas pertimbangan itulah, Ganjar menyetujui UU Cipta Kerja setelah memahami duduk perkara dan pentingnya untuk memangkas birokrasi yang berbelit itu. Semua itu dilakukan demi terciptanya lapangan kerja dan kemakmuran rakyat. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler