UU Perkawinan Berpotensi Melegalkan Perzinahan

Rabu, 04 Mei 2011 – 13:32 WIB
JAKARTA- Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurul Irfan mengatakan, pasal 42 Undang-Undang 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berpotensi mengembalikan cara penetapan nasab ke ala zaman jahiliyah.

"Sebab UU ini di satu sisi tidak mengakui anak yang lahir di luar perkawinan, hanya karena pernikahan kedua orangtuanya tidak dicatat, di sisi lain anak yang diproses melalui perzinaan justru dianggap sebagai anak yang sah," kata Irfan saat memeberikan pandangan ahli uji materil sebagian pasal UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Meordiono-Machica Mochtar di MK, Rabu (4/5).

Dikatakan Irfan, pasal ini merumuskan negara melegalkan proses hubungan badan sebelum nikah sehingga masyarakat akan ringan dan tanpa merasa berdosa menyatakan bahwa Married by accident (MBA) lumrah dan wajar di masyarakat modern.

"Karena UU tidak mempermasalahkan asal-usul kehamilan, maka meski usia kehamilan telah 9 bulan, orang tua masih bisa menikahkan anaknyaAnak yang hamil 9 bulan, orang tua menikahkan anaknya dengan mencari bapaknya," ujar Irfan.

Menurutnya, sekalipun pasal 42 dalam UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, akan sangat baik kata-kata "dalam" yang terdapat pada rumusan pasal ini untuk ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan untuk menghilangkan legalisasi perzinahan.

Pasal 42 Undang-Undang 1/1974 menyebutkan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah

BACA JUGA: Yurod Saleh Resmi Gantikan Ade Raharja

"Kalau kata 'dalam' masih tetap dipertahankan, pasti akan terus terjadi kasus hamil di luar nikah
Masyarakat akan tetap meras aman melakukan zinah, toh anaknya tetap dianggap anak sah oleh undang-undang," tandasnya.

Diketahui, Machica muchtar meminta MK menghapuskan dua norma dalam UU Perkawinan tersebut yakni, pasal 2 ayat 2 yang berbunyi, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Adapun norma kedua, Pasal 43 ayat 1 dalam beleid pernikahan itu, yang mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Menurutnya, pasal tersebut bertentangan dengan hak konstitusional pemohon yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 28B ayat 1 dan 2

BACA JUGA: Lagi, Ketua MK Serahkan Gratifikasi ke KPK

Konstitusi menyebutkan, tiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, serta tiap anak berhak atas kelangsungan hidupnya, tumbuh, terlindung dari kekerasan maupun diskriminasi.

"Jika keberadaan pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 UU 1/1974 memang mengandung madharat, tetapi untuk menghapuskanya juga mengandung madharat, maka menurut kaidah hukum islam, pilih madharat yang paling ringan diantara dua madharat itu," tandas Irfan.

Nurul Irfan menjadi ahli di MK untuk kasus perceraian antara Macicha dan mantan suaminya, Moerdiono yang juga mantan Mensesneg
Macicha dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikarunia seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan (14)

BACA JUGA: Ide Osama Tak Bisa Mati

Kala itu, Moerdiono masih terikat dengan istrinyaLantaran UU Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan Macicha dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA.
 
Akibat perkawinan siri ini, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunyaSetelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak ia berusia dua tahunEfeknya, Iqbal kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada akta/buku nikah(kyd/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Serangan Tidak Dalam Waktu Dekat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler