UU Represif Tiongkok Berlaku, Polisi Hong Kong Sikat Lembaga Survei

Sabtu, 11 Juli 2020 – 19:40 WIB
Polisi Hong Kong makin represif sejak UU Keamanan pesanan Tiongkok resmi berlaku. Foto: Antara/Reuters

jpnn.com, HONG KONG - Kepolisian Hong Kong menggeledah kantor HKPORI, sebuah lembaga survei independen, Jumat (10/7). Penggeledahan tersebut hanya berselang 10 hari setelah parlemen Tiongkok menetapkan Undang-Undang Keamanan Baru yang memicu ketakutan banyak warga di kota bekas koloni Inggris itu.

Penggeledahan itu berlangsung di Hong Kong Public Opinion Research Institute (HKPORI) milik Robert Chung. HKPORI merupakan salah satu lembaga yang menyelenggarakan pemilihan pendahuluan dari kubu partai pro-demokrasi.

BACA JUGA: Tiongkok Berlakukan UU Represif, Ini Pesan KJRI untuk Para WNI di Hong Kong

Pemilihan pendahuluan itu akan memilih kandidat yang punya peluang terbaik untuk mendapatkan mayoritas 35 suara di pemilihan Dewan Legislatif pada September 2020.

Chung mengatakan otoritas Hong Kong tiba di kantornya dan ia pun bernegosiasi dengan polisi demi memahami dasar hukum penggeledahan tersebut. Ia mengatakan polisi telah menyalin sejumlah informasi dari komputer HKPORI.

BACA JUGA: Tiongkok Makin Brutal, Australia Beri Kemudahan Bagi Warga Hong Kong Jadi Penduduk Tetap

Kepolisian telah mengonfirmasi penggeledahan kantor HKPORI tersebut.

"Polisi menerima laporan dari masyarakat bahwa sistem komputer dari lembaga survei itu diduga telah diretas dan sejumlah informasi pribadi publik bocor," kata pihak kepolisian lewat pernyataan tertulis.

BACA JUGA: Tiongkok Makin Otoriter, Taiwan Siap Menampung Warga Hong Kong

"Penyelidikan masih berlangsung dan tidak ada orang yang ditangkap," tambah kepolisian.

Chung pada jumpa pers Sabtu pagi mengatakan ia khawatir informasi yang diambil kepolisian dapat digunakan untuk penyelidikan lain. Namun, ia berjanji akan melakukan apapun untuk melindungi para sumber. Chung tidak menyebutkan jenis data apa yang telah diambil kepolisian.

"Kami mendapatkan janji lisan mereka tidak menggunakan data itu untuk penyelidikan lain," kata Chung.

Chung pada tahun keluar dari unit survei di University of Hong Kong dan membentuk lembaga survei independen, HKPORI. Ia kerap dikritik oleh kelompok pro-Beijing yang mempertanyakan akurasi hasil surveinya.

Eks anggota legislatif berpaham demokratis, Au Nok-hin, meyakini penggeledahan itu terkait dengan pemilihan pendahuluan. Ia percaya aksi kepolisian itu bertujuan menebar ketakutan di masyarakat.

HKPORI menggelar tiga survei untuk Reuters tentang bagaimana warga Kota Hong Kong menanggapi gerakan unjuk rasa pro-demokrasi yang telah berlangsung sejak 2019. Survei itu diadakan pada Desember 2019, Maret dan Juni 2020.

Hasil jajak pendapat terbaru HKPORI menunjukkan hampir sebagian penduduk Hong Kong mengatakan mereka "sangat menentang" Undang-Undang Keamanan Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Tiongkok di kota semi otonom itu.

Hong Kong sempat jadi kota terbebas di Tiongkok setelah wilayah itu dikembalikan oleh Inggris pada 1 Juli 1997. Pengembalian itu dilakukan dengan syarat Tiongkok akan menjamin otonomi dalam berbagai sektor di Hong Kong.

Hasil survei HKPORI juga menunjukkan dukungan terhadap gerakan protes memudar, meskipun sebagian besar orang tetap menyuarakan tuntutan mereka, di antaranya termasuk hak pilih yang universal dan mundurnya pemimpin Hong Kong, Carrie Lam.

Salah satu pertanyaan yang diajukan ke para responden terkait dukungan terhadap kemerdekaan Hong Kong. Tuntutan kemerdekaan merupakan batas yang tidak boleh dilewati oleh warga Hong Kong atau mereka akan jadi sasaran UU Keamanan Baru.

Dari keseluruhan responden, 21 persen di antaranya mendukung Hong Kong merdeka. Angka itu tidak berubah sejak Maret. Namun, 60 persen responden menentang usulan tersebut.

Pemerintah Tiongkok memberlakukan UU Keamanan Nasional sebelum tengah malam pada 30 Juni. UU itu akan memidanakan tiap orang di dalam dan di luar Hong Kong yang terlibat makar, subversi, terorisme, kolusi dengan pasukan bersenjata asing, dan aksi unjuk rasa anti-Tiongkok.

Otoritas di Beijing mengatakan penetapan UU itu penting karena Hong Kong, lewat konstitusinya, gagal menciptakan produk hukum serupa. Hong Kong memiliki konstitusi tersendiri yang disebut Basic Law/Undang-Undang Dasar.

Pemilihan pendahuluan dilakukan jelang pemilihan Dewan Legislatif pada 6 September. Kelompok pro-demokrasi berharap dapat mengamankan mayoritas 35 plus suara di parlemen, sehingga mereka dapat membatalkan usulan eksekutif, serta berpotensi melumpuhkan pemerintahan.

Sejumlah anggota dewan pro-Beijing mengatakan kelompok pro-demokrasi ingin mengganggu pemerintah sehingga menyebabkan krisis konstitusional.

Kepala Bidang Konstitusi Hong Kong Erick Tsang pada minggu ini memperingatkan pemilihan pendahuluan dari kubu pro-demokrasi dapat melanggar aturan UU Keamanan Nasional. Namun, pernyataan itu segera ditentang oleh kelompok pro-demokrasi di Hong Kong. (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler