Dalam Bahasa Inggris | Dalam Bahasa Mandarin
Saat warga Australia yang paling berisiko tertular virus corona sudah siap menerima vaksin, sejumlah pakar memperingatkan beredarnya informasi menyesatkan di jejaring sosial, termasuk di kelompok multikulturall di Australia.
BACA JUGA: Kakek 63 Tahun Meninggal Dunia Usai Disuntik Vaksin China
Pakar mengatakan "sangatlah tidak benar" vaksin mRNA dapat bersatu dengan DNA seseorang Departemen Kesehatan mengatakan pihaknya sedang bekerja sama dengan kelompok penasihat CALD Pakar Studi Islam mengatakan belum tentu 100 persen warga mau divaksinasi meski sudah diberikan informasi
Salah satu kasus informasi yang salah soal vaksin bisa ditemukan di jejaring sosial asal China, 'WeChat, menyebutkan vaksin mRNA, contohnya Pfizer, dapat menyatu dengan DNA dan membuat mereka jadi "orang yang genetiknya diubah".
BACA JUGA: Lansia Meninggal setelah Disuntik Vaksin Sinovac, Simak Baik-baik Penjelasan Resmi Ini
Menurut beberapa akun yang ditemukan ABC, unggahan informasi seperti ini sudah disebarkan di lima kelompok 'WeChat', di mana lebih dari 2.000 warga China di Australia membahas berbagai informasi soal pandemi dan COVID-19.
Penyebaran pesan seperti ini juga telah terjadi dalam kelompok orang yang mengaku sebagai pakar kesehatan dan menggunakan bahasa akademis untuk mengacu pada "penelitian ilmiah" yang tidak berdasar, seperti 'Nature'.
BACA JUGA: India Klaim Punya Stok Vaksin Banyak Banget, Cukup untuk Seluruh Rakyat dan Negara Sahabat
Video: How will the coronavirus vaccine work? (ABC News)
Meskipun media milik China telah beberapa kali menyanggah soal informasi yang beredar dan mengklarifikasi jika hal tersebut adalah informasi yang salah, tapi upaya mereka seringkali terlambat dilakukan.
Penyebabnya adalah informasi tersebar sangat cepat di WeChat, karena komunitas China aktif melakukan percakapan di platform ini.
Yang Bingqing, ketua dari kelompok sukarelawan cek fakta bagi warga China di Australia, mengatakan informasi yang salah muncul di "hampir semua kelompok chat" yang diikutinya di 'WeChat'. Photo: Bingqing Yang mengatakan misinformasi yang menargetkan vaksin mRNA dapat dengan mudah ditemukan di WeChat. (Koleksi pribadi)
"Saya merasa [kelompok chat tersebut] membingungkan bagi seseorang yang tidak berlatar belakang ilmu medis," katanya.
ABC sudah menghubungi 'WeChat' untuk meminta komentar soal misinformasi yang terjadi di platform mereka.
Namun seberapa serius warga percaya pada informasi seperti ini? Dan ketika bahasa Inggris menjadi hambatan bagi warga pendatang serta ketidakpercayaan pada Pemerintah Australia menyebabkan banyak yang tak percaya, apa yang bisa dilakukan untuk memastikan mereka mendapat informasi yang benar? Vaksin menjadi DNA 'sama sekali tidak benar' Photo: Vaksin Pfizer mulai disuntik minggu ini, dengan AstraZeneca setelahnya. (Reuters: Andreas Gebert)
Badan pengawas obat-obatan Australia untuk sementara waktu telah mengizinkan penggunaan dua vaksin untuk kelompok rentan, salah satunya adalah Pfizer, yang merupakan vaksin mRNA pertama dan satu-satunya yang diterima untuk digunakan di Australia.
Vaksin mRNA, yang merupakan singkatan dari 'messenger RNA' bekerja setelah untai DNA disuntik pada sel manusia.
Sel tersebut kemudian menggunakan untai itu sebagai denah untuk membangun protein spike yang ditemukan di permukaan virus SARS-CoV-2.
Setelah beberapa hari, mRNA kemudian diuraikan.
Dr Archa Fox, dosen kepala jurusan biologi RNA di University of Western Australia, mengatakan pesan yang tersebar di WeChat tersebut "sama sekali tidak benar".
Ia mengatakan tidak mungkin vaksin mRNA dapat menjadi bagian dari DNA dalam genom kita.
"Ibaratkan DNA adalah buku resep. Dan RNA adalah kertas kecil berisi oretan," katanya.
"Kita tidak bisa mengambil potongan kertas kecil ini dan menempelkannya pada buku besar. Bahannya berbeda. Tidak cocok. Hal demikian tidak terjadi di sel kita."
Menurutnya, jutaan orang di dunia sudah menerima vaksin RNA hingga saat ini dan belum menunjukkan bukti dari pernyataan ini.
Ia pun menekankan bahwa informasi yang salah justru malah menyebabkan kelompok yang paling berisiko menolak untuk divaksinasi.
"Hal ini akan menimbulkan risiko bagi pihak bersangkutan dan orang-orang tercintanya," katanya. Kelompok relawan cek fakta tidak cukup besar untuk penuhi komunitas Photo: Dr Grey mengatakan Pemerintah Australia masih "tidak menggunakan infodemik" satu tahun setelah pandemi. (Koleksi pribadi)
Dr Alexandra Grey adalah seorang peneliti University of Sydney yang mempelajari efektivitas pesan pemerintah terhadap komunitas multikultural Australia.
Ia mengatakan informasi yang salah dalam bahasa tertentu dapat secara signifikan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap informasi kesehatan.
"Khususnya dalam hal komunikasi tentang kesehatan, di mana perubahan perilaku diharapkan terjadi, kita ingin pembaca kita percaya pada apa yang kita katakan," ujar Dr Grey kepada ABC.
"Ini menjadi alasan lain mengapa kita perlu memakai bahasa yang berbeda-beda, sebanyak mungkin, untuk menjangkau kelompok-kelompok berbeda di Australia."
Menurutnya, tindakan ini akan menyampaikan "sesuatu yang baru dan simbolis berkaitan dengan inklusi dan kepercayaan".
ABC telah berbicara pada puluhan warga dari komunitas Asia di jalanan kota Sydney minggu lalu.
Mayoritas dari mereka yang memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa kedua merasa kesulitan mengakses informasi kesehatan publik dalam bahasa mereka sendiri.
Beberapa orang mengkonfirmasi jika mereka telah menemukan informasi yang salah soal vaksin di media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan WeChat.
Yang Bingqing mendirikan kelompok cek fakta di WeChat di masa awal pandemi April lalu, ketika berita bohong dan disinformasi terkait COVID-19 sedang hangat-hangatnya menyebar di komunitas China di Australia.
Pusat cek fakta tersebut kini telah mempekerjakan lebih dari 600 warga China-Australia yang menawarkan bantuan di dua kelompok WeChat dan meluruskan misinformasi ketika dibutuhkan.
Namun, Yang mengatakan mereka masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan komunitas dan meminta agar pemerintah pusat Australia menyediakan pusat cek fakta untuk menyebarkan informasi akurat dalam bahasa berbeda bagi komunitas multikultural.
"Saya pikir Pemerintah Australia perlu menyediakan lebih banyak informasi [dalam bahasa masing-masing] yang akurat dan membuatnya mudah diakses," katanya.
Sebuah penelitian yang diadakan oleh Edith Cowan University juga menemukan informasi yang disediakan oleh Pemerintah Australia sejauh ini masih "terlalu sulit untuk dimengerti oleh warga Australia". Photo: Penelitian baru yang dipimpin UNSW menemukan WhatsApp dan WeChat adalah jalur komunikasi yang sering dipakai dalam komunitas CALD. (ABC News)
Penelitian berbeda yang diterbitkan minggu ini oleh tim peneliti pimpinan UNSW juga menemukan tantangan ketika menyebarkan informasi kepada kelompok multikultural di tengah pandemi.
Di dalam penelitian tersebut, disebutkan keterlambatan dalam menerjemahkan informasi kesehatan dan kesulitan dalam menavigasi situs pemerintah.
Walau demikian, kekhawatiran terkait ketepatan dan konsistensi pesan terus muncul.
Peneliti mengatakan komunikasi dapat diperbaiki dengan mengenali dan memberikan pelatihan pada perwakilan komunitas dan mempekerjakan petugas yang memiliki kemampuan dua bahasa.
Selain itu, peneliti juga mengusulkan diadakannya dokumen sumber yang "sudah dikembangkan dan diperiksa oleh komunitas yang ditargetkan sebelum diterjemahkan untuk memastikan agar jelas dan sesuai dengan kebudayaan mereka".
Seorang juru bicara dari Departemen Kesehatan Australia mengatakan di samping dari kampanye informasi publik tentang vaksinasi COVID-19 dengan anggaran sebesar A$31juta, di samping dari anggaran untuk menjangkau komunitas multikultural senilai A$1,3juta.
"Kampanye Vaksin Nasional meliputi iklan yang diterjemahkan ke dalam 32 bahasa bagi audiens multikultural melalui radio, print, dan media sosial, termasuk WeChat dan Weibo, serta tersedia di situs kesehatan," ujarnya.
"Departemen [Kesehatan] juga akan menggunakan media sosial lain untuk menjangkau komunitas multikultural." Jaringan komunitas di luar kampanye vaksin nasional Video: Video: Pemerintah Australia merilis kampanye video soal vaksin (ABC News)
Seorang juru bicara Departemen Kesehatan Australia mengatakan kepada ABC selain kampanye soal vaksinasi COVID-19 senilai AU$31 juta dari pemerintah, senilai AU$1,3 juta telah dialokasikan untuk organisasi budaya untuk membantu menjangkau komunitas dari beragam budaya.
"Kampanye Vaksin Nasional mencakup iklan yang diterjemahkan dalam 32 bahasa untuk pendengar dari beragam budaya di radio, media cetak dan sosial, termasuk WeChat dan Weibo dan tersedia di situs web kesehatan," kata mereka.
"Departemen Kesehatan juga sedang menjajaki saluran media sosial lain untuk menjangkau komunitas multikultural."
"Bekerja sama dengan Departemen Kesehatan Australia, SBS telah membuat video, menjelaskan vaksin dan keamanan, proses persetujuan, kelompok prioritas, dan cara tetap mendapat informasi."
Meskipun Departemen Kesehatan telah memberikan informasi terkait vaksin COVID-19 dalam lebih dari 60 bahasa di situsnya, mereka melupakan satu kelompok populasi yang cukup besar, misalnya satu-satunya bahasa yang tersedia untuk komunitas warga asal Pasifik adalah bahasa Samoa, padahal ada banyak bahasa lainnya dari kawasan ini.
Hal ini mengkhawatirkan bagi Rita Seumanutafa, yang bertugas di Kelompok Penasihat Kesehatan COVID-19 Komunitas yang Beragam Budaya dan Bahasa dan membantu berbagi pesan tentang program vaksinasi COVID-19.
"Orang-orang kami mendapatkan berita mereka dari unggahan Facebook," kata Rita kepada program Pacific Beat dari Radio ABC.
"Ada postingan copy-paste anti-vaxxer yang beredar saat ini ... tidak ada nasihat ini yang berasal dari profesional medis, tetapi saya tahu orang-orang kita akan membacanya kata demi kata."
Rita mengatakan sedikitnya terjemahan dalam bahasa Pasifik mengkhawatirkan, karena anggota komunitasnya lebih percaya pada berita bohong dalam bahasa mereka, ketimbang menerima informasi kredibel soal vaksin.
Departemen Kesehatan mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan kelompok dari beragam latar belakang budaya dan akan meninjau kembali apakah mereka harus menerjemahkan ke dalam lebih banyak bahasa.
"Bahasa yang dipilih untuk diterjemahkan dalam situs Departemen Kesehatan ditentukan sesuai ukuran populasi dengan kemampuan berbahasa Inggris yang rendah di Australia," ujar juru bicaranya.
"Departemen kami bekerjasama dengan ketua komunitas dan telah mendapat nasihat untuk memastikan setiap komunitas dapat mengakses informasi sesuai bahasa mereka."
Penelitian di negara lain, misalnya di Inggris, menunjukkan warga dengan latar belakang etnis minoritas lebih mungkin meninggal dunia akibat COVID-19 dibandingkan dengan warga kulit putih.
Di Australia ditemukan juga hal serupa bisa terjadi, jika komunitas dengan kondisi demikian tidak mendapatkan informasi penting. Pesan terkait COVID 'tidak akan meyakinkan 100 persen orang' Video: Before a single dose has been administered in Australia, the rest of the world is racing to get shots in arms. (ABC News)
Kesalahpahaman dan rasa tidak percaya terhadap pesan yang disampaikan pemerintah juga dialami komunitas umat beragama, menurut Dr Zuleyha Keskin, dosen senior bidang Studi Islam di Charles Sturt University.
"Komunitas Muslim tidak memiliki kepercayaan penuh pada politikus, berdasarkan pengalaman masa lalu," ujar Dr Keskin kepada ABC.
"Yang saya maksudkan dengan pengalaman masa lalu adalah bagaimana politikus membicarakan soal Muslim di masa lalu, apakah mereka pernah terhubung dengan komunitas Muslim, mendengar kekhawatiran mereka, [dan] mengerti dilema mereka."
Namun beberapa imam Muslim telah berusaha melawan misinformasi dengan memberikan informasi soal COVID-19 melalui ceramah saat shalat Jumat dan menekankan kehalalan vaksin, serta "tugas etis" umatnya untuk melindungi orang lain.
Kelompok Muslim Health Professionals Australia juga telah mengadakan diskusi vaksin COVID-19 secara online dengan beberapa masjid untuk memberikan pandangan dari sisi agama dan sains. Photo: Dr Zuleyha Keskin mengatakan rasa tidak percaya terhadap pemerintah telah menimbulkan keraguan pada informasi tentang COVID-19. (Koleksi pribadi)
Dua minggu lalu, Australian Fatwa Council mengeluarkan fatwa yang mengatakan vaksin Pfizer dan AstraZeneca tidak terbuat dari bahan yang dilarang dalam Islam dan justru aman.
Beberapa perusahaan vaksin telah membenarkan hal tersebut.
"[Namun penyampaian pesan seperti ini] tidak akan meyakinkan 100 persen orang," kata Dr Keskin.
"Akan selalu ada orang yang mengatakan [Dewan Fatwa] memiliki agenda lain, atau mereka telah dipengaruhi pemerintah ... akan selalu ada orang yang tidak menganggap pesan ini serius."
Dan benar adanya, seorang ulama di Australia mengunggah video di Youtube yang mempertanyakan apa otoritas dari badan imam di Australia untuk mengatakan halal.
Dr Keskin menekankan pemimpin dari agama lain juga memiliki kekhawatiran tentang vaksin.
Tahun lalu, tiga uskup agung senior di Australia, walaupun mendukung prinsip vaksin COVID-19, bereaksi kritis terhadap vaksin AstraZeneca, yang juga akan digunakan di negara tersebut.
Vaksin AstraZeneca dikembangkan dari sel ginjal (HEK-293) yang diambil dari fetus yang diaborsi.
Sel ini sering dipakai dalam penelitian medis dan digunakan untuk memproduksi vaksin lain, seperti vaksin HPV.
Pemerintah Australia telah meyakinkan komunitas umat beragama bahwa tidak ada "kekhawatiran etis" dalam vaksin dan pakar mengatakan sel ginjal tersebut sudah dikembangkan sejak puluhan tahun yang lalu.
Juru bicara Departemen Kesehatan mengatakan pihaknya telah mengembangkan strategi untuk meluruskan kesalahan informasi terkait vaksin COVID-19, termasuk tentang bahan dan hal lain yang berkaitan dengan halal dan kosher.
"Departemen akan bekerja sama dengan jaringan multikultural, pemimpin komunitas, dan anggotanya untuk membantu meluruskan kekhawatiran dan penolakan melalui interaksi tingkat lokal."
Rita menambahkan lebih banyak konsistensi dibutuhkan dalam strategi menyampaikan pesan dalam bahasa tertentu, untuk memastikan setiap anggota komunitas dapat memperoleh informasi akurat soal vaksin COVID-19.
"Mau divaksinasi atau tidak, yang terpenting, harapan saya adalah agar keputusan itu diambil setelah memperoleh informasi yang jelas," katanya.
"Ini yang saya harapkan dibandingkan memutuskan untuk tidak divaksinasi karena sesuatu yang dilihat di media sosial."
Dalam Bahasa Inggris | Dalam Bahasa Mandarin
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia dan Tiongkok Bersitegang, Warga Keturunan Tionghoa Terimbas Dampaknya