Virus corona varian Delta yang pertama kali ditemukan di India, sekarang menular cepat ke seluruh dunia dengan tingkat penyebarannya yang lebih cepat dibandingkan varian lain.
Dengan program vaksinasi yang sedang berjalan di seluruh dunia menggunakan merk vaksin yang berbeda, timbul pertanyaan apakah vaksin yang diterima bisa ampuh menghadapi varian delta.
BACA JUGA: BCL: Apa Pun Pendapat Kalian, Virus Ini Ada!
Di Australia, Therapeutic Goods Administration (TGA), yakni lembaga yang mengeluarkan persetujuan soal obat-obatan, mengatakan satu dosis vaksin Pfizer atau AstraZeneca sudah memberikan perlindungan yang memadai terhadap kebanyakan varian virus corona yang sudah ada.
Tapi untuk melindungi diri dari varian Delta maka diperlukan dua dosis vaksin .
"Berita bagus berkenaan dengan varian Delta ini adalah meski sangat menular, namun varian itu masih bisa ditangani dengan vaksin yang ada, tetapi memang kita harus mendapatkan dua dosis vaksin," kata Dr John Skerritt, kepala TGA.
Dr Skerritt mengatakan walau nantinya warga Australia akan memerlukan vaksin penguat, atau 'booster', dua dosis vaksin yang didapat saat ini akan memberikan perlindungan lebih lama dibandingkan hanya satu dosis.
BACA JUGA: Selandia Baru Bersiap Menghadapi Gempa Berkekuatan 8 SR di Patahan Alpine
"Tentu saja satu dosis jauh lebih baik dibandingkan tidak divaksin sama sekali, namun itulah mengapa kita sekarang menjalankan program vaksin dua dosis." Dampak jangka panjang sama buruknya dengan kematian
Australia memang sudah mengubah kebijakan vaksinasi, yakni tidak memberikan vaksin AstraZeneca kepada mereka yang berusia di bawah 60 tahun.
Dalam sidang yang melibatkan TGA terungkap alasannya adalah kemungkinan dampak jangka panjang akibat penggumpalan darah bagi mereka yang mendapat vaksin AstraZeneca.
Pekan lalu, para pakar mengenai vaksin di Australia yang tergabung dalam Kelompok Penasehat Teknik Mengenai Imunisasi (ATAGI) mengubah petunjuk karena kasus penggumpalan darah yang disebut sindroma thrombocytopenia (TTS).
Salah satu ketua ATAGI, Christopher Blyth, mengatakan risiko seseorang meninggal karena penggumpalan darah setelah mendapat vaksin AstraZeneca adalah 1 dalam 2 juta orang.
Sementara seseorang mengalami penggumpalan darah pada umumnya adalah tiga sampai empat persen, menurut data di Australia.
Tetapi Dr Blyth menjelaskan keputusan ATAGI mengubah kebijakan adalah karena adanya dampak jangka panjang dari sekitar 60 warga Australia yang sudah mengalami penggumpalan darah setelah mendapatkan vaksin.
"Resiko kematian memang lebih rendah, namun saya kira kita harus mempertimbangkan hal lain, bukan saja soal kematian."
"Sejumlah warga Australia mengalami dampak buruk dari kasus penggumpalan darah dan mereka adalah individu yang lebih muda, dan dampak buruk ini dalam pandangan saya sama pentingnya dengan kematian."
"Dari itu, sejumlah individu tersebut akan mengalami komplikasi jangka panjang dari apa yang mereka alami."
Menurut Komando Gugus Tugas COVID-19 di Australia, Letnan Jenderal John Frewen, sejauh ini sudah 6,5 juta dosis vaksin yang diberikan.
Australia saat ini memiliki 2,3 juta dosis vaksin Pfizer dan akan mendapatkan tambahan 3,4 juta dosis Pfizer lagi di akhir Juli.
Untuk pertama kalinya seluruh negara bagian di Australia mendapatkan rincian data mengenai berapa banyak vaksin yang akan mereka terima sampai akhir tahun.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... COVID-19 Melonjak di Jatim, Khofifah Menjawab Tegas Ditanya Opsi Lockdown