Tekanan terus meningkat pada salah satu patahan lempeng Bumi paling aktif, membuat Selandia Baru kini bersiap-siap menghadapi gempa besar.
Patahan Alpine Fault yang melintang di sepanjang pulau South Island pernah mengalami gerakan mendadak.
BACA JUGA: Diteror Kawanan Tikus, Ratusan Napi Terpaksa Mengungsi
Para ilmuwan berhasil mempelajari terbentuknya danau-danau dan hutan lebat di lereng gunung Southern Alps serta memprediksi apa yang akan terjadi.
Temuan mereka mengungkap gempa bumi terbesar akan melanda Selandia Baru.
Pegunungan Alpen Selatan yang diselimuti salju spektakuler, membentang di pesisir Pulau Selatan Selandia Baru, menyimpan catatan gempa di masa silam.
Selama jutaan tahun, lempeng tektonik Australia dan Pasifik yang bergeser di bawah permukaan telah mendorong, menekuk, membelah tanah dan membentuk barisan pegunungan ini.
BACA JUGA: Ekonomi Kian Sulit, Pernikahan Anak Meningkat Selama Pandemi
Pertemua kedua lempeng di atas permukaan Bumi ini dikenal sebagai patahan 'Alpine Fault'.
Patahan ini sepanjang 850 kilometer di kerak Bumi yang membentang di jalur sepanjang kaki barat pegunungan Alpen.
Di dekat Milford Sound, patahan meninggalkan bekas yang terlihat jelas.
Bekas-bekas yang ditinggalkan patahan ini sudah jadi pemandangan biasa di sepanjang pesisir barat Selandia Baru.
Di sebelah utara, di Gaunt Creek, garis patahan muncul dari permukaan tanah. Ini adalah salah satu dari sedikit lokasi di mana kita dapat menyentuh patahan lempeng Bumi.
Ini hanya beberapa bukti yang mengingatkan guncangan besar yang membentuk dataran ini.
Rata-rata, lempeng-lempeng itu bergerak 2-3 sentimeter per tahun. Mungkin terdengar lambat, tapi dalam waktu geologis, kecepatan itu luar biasa.
Namun bukannya bergerak secara bertahap, lempeng-lempeng ini malah bergerak beberapa meter setiap beberapa ratus tahun.
Para ilmuwan percaya lempeng-lempeng ini akan bergerak lagi dan bila hal itu terjadi akan memicu gempa bumi yang dahsyat.
Dalam meneliti Patahan Alpine, para ilmuwan membuat garis waktu sejarah dan menemukan perubahan besar selalu terjadi, rata-rata setiap 300 tahun.
Meski cukup kompleks, namun mereka mencatat tanggal kejadian gempa berkekuatan 8 SR di sepanjang garis patahan hingga tahun 1717.
Perhitungan sederhana menyimpulkan jika sejak gempa besar tersebut, kini sudah lebih dari 300 tahun jaraknya.
Jadi, gempa seperti apa yang akan terjadi di Patahan Alpine?
Pertanyaan inilah yang diajukan dosen geografi fisik di Universitas Victoria Wellington, Jamie Howarth dan timnya baru-baru ini.
Mereka mengembangkan pencatatan terlengkap dalam sejarah Patahan Alpine dan menemukan sebuah pola yang membantu memperkirakan apa yang akan terjadi.
Mereka mengumpulkan banyak data dari dasar danau di sepanjang Patahan Alpine, yang jadi arsip geologis yang sudah lama ada di sana.
Strip sedimen ini adalah sampel yang diambil dari Danau Paringa di kaki Pegunungan Alpen Selatan.
Tim peneliti melakukan pengeboran sedalam enam meter dan mengekstraksi penampang dasar danau, mengungkapkan cuplikan sejarahnya baris demi baris.
"Cuplikan ini membawa kita kembali beberapa ribu tahun ke masa silam dan kemudian kita dapat membaca catatan itu seperti sebuah buku, mengidentifikasi gempa bumi di masa lalu dan menentukan tanggalnya," jelas Jamie.
Dalam sampel ini, zona merah mewakili setiap gempa besar Patahan Alpen pada tahun 925 (abad ke-10).
Guncangan yang kuat dalam peristiwa ini merusak lapisan sedimen, menyebabkan mereka runtuh dan menyatu.
Guncangan itu juga membuat material di tepi danau tidak stabil dan menyebabkan tanah longsor di bawah air, sekali lagi merusak lapisan sempurna, atau garis, sedimen yang seharusnya ada di sana.
Setelah gempa bumi, terjadi peningkatan erosi, karena sedimen dari tanah longsor akibat gempa masuk ke danau.
Bukti-buktinya masih tersimpan di sana.
Gempa bumi mungkin hanya berlangsung selama beberapa menit, tetapi dampak geologis dapat bertahan selama beberapa dekade.
Ini hanya satu sampel inti dari satu danau di sepanjang patahan. Proses ini diulang di beberapa situs di sepanjang Patahan Alpine untuk membangun gambaran yang sangat kaya tentang sejarahnya.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience pada bulan April lalu juga membuktikan adanya cara untuk meramal kejadian di masa depan.
Sebelum penelitian ini, kemungkinan terjadinya gempa bumi dahsyat di sepanjang Patahan Alpine dalam 50 tahun ke depan, dipahami hanya sekitar 30 persen.
Pemahaman itu kini telah berubah drastis.
Penelitian ini menyebutkan, kemungkinan 75 persen gempa dahsyat bisa dipastikan akan terjadi di sepanjang Patahan Alpine dalam 50 tahun ke depan.
"Tapi kita bisa melangkah lebih jauh dari perkiraan itu," ujar Jamie.
"Kami melihat adanya peluang 82 persen akan terjadi pada salah satu dari beberapa bagian patahan ini, menimbulkan keruntuhan yang sangat panjang dengan kekuatan lebih dari 8 SR."
Tidak lama setelah penelitian Jamie diterbitkan, Caroline Orchiston dari Universitas Otago melakukan perjalanan melintasi pegunungan untuk menemui masyarakat yang akan terdampak gempa Patahan Alpen. Kehidupan di garis patahan bumi
Di antara Laut Tasman dan Pegunungan Alpen Selatan terdapat sebidang tanah yang dipenuhi kota-kota kecil dan dihubungkan oleh jalan Highway 6 South Island.
Patahan bumi telah mengguncang tanah ini di masa silam, tetapi juga menjadikannya unik.
Pemandangannya dipenuhi tanah dengan warna klasik. Sungai-sungai dengan air warna biru, lalu nuansa hijau pepohonan ditingkahi salju putih paling terang di puncak gunung.
Alam yang perawan, indah dan telah menjadi tujuan wisatawan yang ingin menghayati alam liar Selandia Baru.
Sepanjang jalur ini, di bagian tengah Patahan Alpine, terdapat kota kecil bernama Whataroa.
Dari sini, perjalanan singkat dan mendaki menuju tempat di mana garis patahan aktif muncul ke permukaan.
Penelitian Caroline berfokus pada ilmu bumi dan sosial. Selama penelitian, dia menghabiskan waktu di pantai barat.
Caroline mengaku selalu ingin kembali dan mempelajarinya, bukan hanya tempat itu, tetapi juga orang-orangnya.
"Saya sedang berada di sana, betapa kekuatan tempat ini sangat menginspirasi," kata Caroline.
"Tempat ini memiliki begitu banyak energi potensial."
"Bus-bus wisata yang bergerak menyusuri pesisir, membuatku berpikir apa yang akan dilakukan para turis ini? Apakah mereka menyadari berada di tempat dengan risiko sebesar ini?"
Sekarang, Caroline memimpin AF8, sebuah grup yang didedikasikan untuk mempersiapkan masyarakat setempat menghadapi gempa besar yang akan datang.
Caroline tiba di Wjataroa pada suatu sore di akhir April lalu. Misinya adalah membagi pengetahuan dan membantu masyarakat setempat bersiap-siap menghadapi gempa.
Pada pertemuan di balai kota setempat malam itu, warga mengajukan banyak pertanyaan.
"Kami selalu sampaikan, selama masih ada pertanyaan, kami tak akan pernah berhenti," ucap Caroline.
Bagi sebagian warga, pembicaraan tentang gempa di Patahan Alpen terlalu berlebihan. Ada usaha dan mata pencaharian yang bergantung pada pariwisata pesisir pantai barat.
Bagi warga lainnya, justru lebih baik bila mengetahui fakta-faktanya.
Sonia Pettigrew dan suaminya Pete Dennehy memiliki usaha pertanian dan akomodasi di luar kota Whataroa.
Mereka hadir untuk mendengarkan pemaparan Caroline tentang Patahan Alpine.
Sonia mengatakan ada poster lama yang terpasang di toko lokal selama bertahun-tahun, memperingatkan tentang gempa besar Patahan Alpen.
Setelah mendengar prediksi terbaru bahwa gempa berkekuatan 8 SR mungkin terjadi dalam hidupnya, Sonia langsung ingat poster itu.
“Kami memiliki akses satu jalan masuk dan satu jalan keluar di daerah kami. Jadi bila ada gempa besar, jembatan akan putus dan jalan akan rusak. Jadi, kami tidak bisa keluar dari kota. Jangan sampai," katanya.
"Kami akan sangat memerlukan bantuan."
Sonia sudah tidak asing lagi dengan gempa bumi.
Pada tahun 2011, anak-anaknya Steven dan Laura berada di sekolah asrama di Christchurch ketika gempa bumi besar mengguncang kota itu, 185 orang tewas.
Laura juga berada di Nepal pada 2015 ketika gempa berkekuatan 7,9 SR terjadi di sana.
Saat dua gempa itu terjadi, komunikasi menjadi sangat sulit.
"Kita hanya bisa menunggu sampai mereka bisa menelepon kita. Hanya bisa menunggu," ucap Sonia.
Setelah 26 tahun tinggal di Whataroa, Sonia bercerita tentang pengalamannya melihat tanah bergerak dan gempa yang menyentak, bukti retakan kuno di bumi di sekitarnya.
Tak lama setelah pertemuan di balai kota Whataroa, terjadi gempa.
"Kami selesai menggelar pertemuan dan sedang berada di ruang makan. Kami mendengar guncangan, gempa bumi," kata Sonia.
Mereka yang tinggal di pantai barat tinggal di lanskap yang aktif dan sering menghadapi tantangan alam, tetapi orang luar kota kemungkinan besar tidak siap.
Ada beberapa daya tarik wisata di sepanjang pantai barat, termasuk gletser Franz Josef dan Fox.
Pelaku usaha pariwista tak ingin membuat orang ketakutan dengan isu gempa bumi. Namun mereka perlu memperhitungkan rencana respons dan pemulihan bila hal itu terjadi.
"Ada kota-kota kecil dengan populasi empat atau lima ratus orang, namun dikunjungi oleh ribuan orang di kota itu," kata Caroline. Kapan akan terjadi
Bahasa yang digunakan para ilmuwan saat membicarakan gempa Patahan Alpen berikutnya memang sengaja dibuat pasti.
"Gempa bumi tidak bisa dihindari dan ilmu pengetahuan memberi tahu kita, dengan cara yang lebih tegas, akan terjadi mungkin lebih cepat dari yang kita pikirkan," jelas Jamie.
Caroline menambahkan dalam sains, sebenarnya tidak banyak ketidakpastian.
"Kebanyakan orang menyatakan sudah tahu hal ini akan terjadi. Kita hidup di pulau yang rapuh, mari kita ikuti programnya," katanya.
Jadi, seperti apa nantinya gempa bumi ini?
Para peneliti di University of Canterbury menggunakan superkomputer untuk membuat simulasi gempa dahsyat Patahan Alpine dan menggambaran seberapa luas dampaknya.
Mereka memodelkan seberapa banyak tanah akan bergetar dalam satu skenario yang mungkin.
Dalam simulasi gempa berkekuatan 7,9 SR, guncangan mulai terjadi di bagian selatan.
Tanah paling bergerak terjadi di sepanjang pesisir barat. Gelombang yang bergerak melintasi South Island menunjukkan pergerakan tanah pada satu titik untuk satu saat.
Tergantung pada berbagai kondisi lainnya, namun guncangan dengan intensitas seperti itu mampu menghancurkan tanah yang dilewati guncangan.
Tanah bisa terbelah 10 meter secara horisontal dan dua meter secara vertikal.
Sekitar 90 detik pasca guncangan pertama, pesisir timur Selandia Baru juga akan terguncang.
Tergantung tipe bangunannya seperti apa, namun tampaknya guncangan itu mampu menjatuhkan benda-benda dari lemari.
Kota-kota setempat di bagian South Island ini diperkirakan akan terputus aksesnya oleh longsor besar.
Dalam waktu tiga menit lebih, seluruh pulau South Island Selandia Baru akan merasakan gempa bumi.
Bagaimana Selandia Baru merespons seminggu setelah gempa besar Patahan Alpen dipetakan dalam skenario yang dikembangkan oleh Caroline, grup AF8, berbagai lembaga, dan pemerintah.
Skenario tersebut meliputi kerusakan jaringan listrik dan telekomunikasi, gangguan pasokan bahan bakar dan makanan, tanah longsor, runtuhan batu, puluhan ribu orang mengungsi, ribuan orang luka ringan dan ratusan lainnya tewas.
Operasi pencarian dan penyelamatan serta pengiriman layanan untuk individu dan kelompok yang terjebak akan menjadi misi pertama di South Island.
"Akan ada ratusan ribu tanah longsor dan longsoran batu di medan yang lebih curam di dekat Patahan Alpine dan di seluruh pulau," demikian disebutkan dalam skenario.
Tsunami di sepanjang pantai tidak akan terjadi, tapi danau di sepanjang Patahan Alpine akan rentan terhadap genangan dan diperkirakan menimbulkan kerusakan signifikan atau hilangnya nyawa.
GeoScience Australia mengatakan dampaknya tampaknya tak akan dirasakan di Australia.
Sonia mengatakan jika dan ketika gempa besar melanda Whataroa, masyarakat setempat akan melakukan apa yang selalu dilakukan sebelumnya.
"Ada semangat gotong royong dalam masyarakat di sini," jelasnya.
"Bantuan akan tiba, meski tidak segera. Jadi, masyarakat setempat akan saling membantu terlebih dahulu."
Erica Andrews dari kelompok tanggap darurat West Coast menyatakan balai kota Whataroa bisa digunakan oleh siapa pun yang membutuhkan.
"Tempat ini akan menjadi tujuan orang mencari bantuan, informasi, dan perlindungan setelah bencana," katanya.
"Para wisatawan yang mungkin terdampak bencana akan dibantu oleh warga setempat. Kami akan mencarikan akomodasi, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya."
Helikopter akan digunakan untuk membawa orang ke fasilitas medis, sementara traktor dikerahkan untuk upaya penyelamatan. Jaringan generator, radio UHF dan telepon satelit di wilayah ini akan sangat penting saat bencana terjadi.
Caroline mengatakan sekarang saatnya untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi gempa yang akan terjadi.
"Setiap uang yang dibelanjakan untuk mempersiapkan diri (menghadapi gempa) akan mengurangi risiko."
'Alpine Fault' telah menjadi patahan lempeng bumi yang paling banyak diketahui saat ini.
Bekas-bekas arkeologis di Souther Alps Selandia Baru memiliki usia ribuan tahun.
Mempelajari 'arsip alamiah' ini mengarah jelas kepada kesimpulan, bahwa gempa berkuatan 8 SR akan terjadi di patahan Alpine. Tidak lama lagi.
Dalam kata-kata Caroline: "50 tahun sangat singkat dalam waktu geologis. Tidak ada apa-apanya." Kredit:
Laporan, riset, produksi digital:
Pemetaan dan produksi digital:
Desain:
Fotografi: Petr Hlavacek di Whataroa, Selandia Baru
Fotografi tambahan: Jamie Howarth, Victoria University of Wellington
Penerjemah:
Catatan tentang artikel:
Peta dasar Selandia Baru oleh AutoNavi
Foto-foto resolusi tinggi oleh Land Information New Zealand
Data lempeng tektonik dari United States Geological Survey
Data Patahan Alpine dari New Zealand Active Faults Database, GNS Science
Pemodelan gempa 3D dibuat oleh kelompok riset Bradley pada University of Canterbury serta visualisasi oleh Nick Young dari University of Auckland.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tren Hijrah Membuat Banyak Orang Meninggalkan Pekerjaan di Bank demi Hindari Riba