Kejayaan nenek moyang Nusantara sebagai pelaut sudah meninggalkan banyak jejak. Salah satu jejak itu bisa dilihat di Galeri Maritim Colin Jack Hinton di Museum dan Galeri Seni Northern Territory (NT), Darwin.
Di galeri maritim ini ada belasan kapal dan perahu tradisional dari negara ASEAN dan Asia Pasifik, namun mayoritas koleksi adalah dari Indonesia.
BACA JUGA: Marak Konflik Kepentingan antara Dokter Hewan dan Industri Makanan dan Farmasi Hewan
Dr Colin Jack Hinton sendiri adalah sejarawan yang mendirikan Galeri Maritim di Museum dan Galeri Seni NT itu dan menggagas untuk mengumpulkan kapal-kapal tradisional, termasuk di Indonesia. Dia wafat pada 22 Maret 2006 di Selandia Baru dalam usia 73 tahun.
Dr Jack Collins mendapat gelar "pa'daengang", Daeng Matutu, yang artinya "Yang Teliti" dalam Bahasa Makassar.
BACA JUGA: Bertemu Presiden Jokowi, PM Turnbull Banyak Bahas Kerjasama Ekonomi
"Dr Colin Jack Hinton, dia sejarawan yang sangat tertarik dengan perahu. Dia melihat, bahkan sampai sekarang, Indonesia memiliki variasi paling banyak kapal di dunia ini. Dan dia berpikir bahwa ide yang sangat bagus untuk mengkoleksi kapal-kapal itu sebelum hilang," tutur Paul Scott Clark, kurator Museum dan Galeri Seni NT.
BACA JUGA: Kelompok Opera di Brisbane Gelar Konser di Bekas Waduk Bersejarah
Paul menambahkan, alasan Colin itu sangat masuk akal. Seiring zaman yang berubah, teknologi juga berubah, dan kapal kayu bisa jadi tak diproduksi lagi.
"Karena Anda tahulah, teknologi berubah terus, manusia menggantikan bahan pembuat kapal dengan besi. Dan kapal layar digantikan dengan mesin dan sebagainya. Untuk itu dia menggagas galeri kapal ini dan mengkoleksi banyak tipe kapal kayu, mayoritas dari Kawasan Timur Indonesia karena KTI itu tetangga dengan NT, cuma di seberang perairan saja," tutur pria yang ramah ini.
"Kapal itu unik. Di beberapa bagian di Indonesia, kapal-kapal itu sudah tak dibangun lagi. Mungkin ada pula yang jadi koleksi beberapa museum di dunia. Tapi, saya pikir koleksinya kapal Indonesia tak bervariasi sebanyak ini," imbuhnya.
Indonesia, imbuhnya, tidak begitu jauh, utamanya soal perahu-perahu itu, yang sampai berlayar ke sini. Ditambahkan dia, Dr Colin ingin mengoleksi kapal yang bervariasi tipenya.
"Tak cuma 1 atau 2 tipe. Dan kami memiliki 6-7 tipe kapal, utamanya sampan dan kano, mungkin di sini adalah koleksi terbaik dan terbanyak untuk kapal di dunia, di luar Indonesia," jelasnya.
Paul menambahkan, ada 12 kapal tradisional di sini, dan 9 kapal di antaranya dari Indonesia. Kapal-kapal di galeri maritim ini sudah dikoleksi sejak tahun 1980-an. Untuk kapal dari Indonesia, museum mendapatkannya dari kolektor hingga pelaut, bahkan sengaja membeli kapal-kapal itu.
"Kami dapatkan dari kolektor, pelaut, orang Australia, orang Inggris, yang travelling ke Indonesia, jatuh cinta dengan orang-orangnya, dengan kampungnya dan tentu saja kapalnya. Mereka berpikir untuk membawanya pulang, tentu kapal ini tak bisa dinaikkan ke pesawat, jadi harus dipakai berlayar," ungkapnya.
Jadi mayoritas kapal-kapal Nusantara ini dibawa ke Darwin dengan memakainya berlayar. Seiring dengan berlalunya waktu, para kolektor itu mendonasikannya pada museym.
"Mereka mendonasikannya ke museum atau menjualnya kepada kami untuk menambah koleksi museum. Dan kami mulai mengoleksinya," tuturnya.
Bagaimana dengan nama-nama kapal tersebut yang terdengar 'lucu' seperti "Semanis", "Karya Sama", "Tujuan", "Sama Saja" dan "Terima Kasih", apakah nama tersebut sudah dari sananya atau memang diberi nama yang unik itu?
"Kami selalu menjaga nama kapal sesuai aslinya. Nama Indonesia itu memang sudah dari sananya. Dalam menamakan kapal, nelayan atau pembuat perahu Indonesia itu memiliki sedikit selera humor dengan menyematkan kata-kata yang terdengar lucu. Ada Kaya Sama, Tujuan, Sama Biasa (di WA Maritim Museum di Freemantle), Terima Kasih. Apapun namanya itu selalu aslinya," jawab dia.
Paul menambahkan nama-nama itu berasal dari orang yang membawa atau membuat kapal, dari nelayan, tercantum dalam dokumen kapal yang diisikan untuk administrasi birokrasi atau kuitansi atau sudah tercantum dalam badan kapal.
Meski demikian, menjaga kapal-kapal kayu Nusantara di galeri ini tidak mudah. Tantangannya adalah menjaganya dari air hujan dan rembesannya di dalam galeri.
"Tantangan terbesar adalah menjaga obyek kayu, karena kapal-kapal ini terbuat dari kayu di wilayah tropis, untuk menjaga kelembaban, menjaganya dari hujan, tekanan. Air asin atau air laut akan mengawetkan kapal, tapi air hujan akan meruntuhkan kapal sangat cepat, itu tantangan di NT ini. Makanya kami membangun galeri ini," tuturnya.
Dapatkan kesempatan memenangkan boneka beruang Bobbie, khas Australia, yang memiliki harum bunga lavender dengan menceritakan apa yang paling Anda sukai dari Australia. Caranya? Tulis di akun Twitter Anda dengan tag #JendelaAustralia. Setiap harinya akan ada 5 pemenang yang akan diumumkan secara berkala melalui akun @APlusIndonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Langkah Sederhana Ini Mampu Tekan Prevalensi Obesitas pada Anak