jpnn.com, JAKARTA - Anggota Pansus Angket Haji 2024 Wisnu Wijaya menyebut kewenangan menentukan kuota haji tambahan tidak mutlak di tangan Menteri Agama (Menag).
Sebab, kata legislator Fraksi PKS itu, ada Pasal 62 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
BACA JUGA: Adlin Panjaitan Menilai Pansus Haji Terkesan Dipaksakan dan Politis
Menurut Wisnu, aturan itu berisi tentang komposisi haji khusus, yakni delapan persen dari total kuota nasional.
“Artinya, pasal 62 Ayat (2) ini berfungsi untuk mengunci atau menetapkan ambang batas maksimal pengisian kuota haji khusus," kata Wisnu Wijaya dalam keterangan persnya, Sabtu (27/7).
BACA JUGA: DPR RI Ngotot Bentuk Pansus Haji, Reaksi Menag Yaqut di Luar Dugaan
Wisnu mengacu aturan itu menepis anggapan soal kuota tambahan menjadi kewenangan mutlak Menag dengan memakai Pasal 9 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umrah.
"Jadi, seyogyanya tidak bisa dimaknai hanya dengan berdasar pada pasal sembilan saja, karena berpotensi menimbulkan tafsir seolah Menteri Agama memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur kuota haji tambahan sekehendaknya," terangnya.
BACA JUGA: Muncul Persoalan Perubahan Kuota Haji, Pansus Bisa Saja Melibatkan KPK
Anggota Komisi VIII DPR itu mengingatkan penggantian kuota haji tambahan mengubah komposisi jumlah nasional ibadah rukun kelima Islam itu.
Dia kemudian mengatakan perbedaan itu berkonsekuensi pada perubahan postur anggaran yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan haji dan dananya dikelola oleh BPKH.
“Artinya, setiap sen rupiah yang dikeluarkan oleh BPKH atas permintaan Kementerian Agama guna penyelenggaraan haji wajib atas persetujuan DPR dalam kapasitasnya sebagai pengawas eksternal BPKH dan Kemenag," jelas Wisnu.
Namun, kata Wisnu, DPR belakangan menerima informasi terjadi pengalihan kuota tambahan yang dilakukan sepihak oleh Kemenag lewat Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2024 tanpa konsultasi ke parlemen.
"Otomatis membuat besaran BPIH yang bersumber dari nilai manfaat yang sudah ditetapkan dalam Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH jadi berubah,” jelasnya.
Wisnu mengatakan KMA Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 1445H/2024M melanggar asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yakni peraturan di bawah tak boleh bertentangan dengan regulasi yang tinggi.
“KMA Nomor 13 Tahun 2024 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH dan Pasal 62 Ayat 2," lanjut legislator Daerah Pemilihan I Jawa Tengah itu.
Wisnu pun menekankan kewenangan DPR menjangkau soal menolak atau menyetujui anggaran penyelenggaraan haji permintaan Kemenag yang dananya dikelola BPKH dari jemaah.
Termasuk, kata pria kelahiran Jawa Tengah itu, menyetujui atau tidak anggaran yang berubah akibat pengalihan kuota haji tambahan.
"Klaim yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menag sehingga tidak perlu memperoleh persetujuan DPR dinilai tidak tepat dan tidak berdasar," pungkasnya. (ast/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Aristo Setiawan