"Sampah." "Demi uang atau demi keluarga?" "Eksploitasi trauma dalam perfilman."

Di awal masa pemutarannya di bioskop, hampir sulit untuk menemukan ulasan yang baik dan memuji untuk film Vina: Sebelum Tujuh Hari.

BACA JUGA: Otto Hasibuan Sebut Peradi Bakal Bantu Terpidana Kasus Vina Cirebon Ajukan PK

Beberapa aktivis mengkritik adegan perkosaan yang ada di film itu, mengatakan adegan itu tidak sensitif terhadap Vina dan keluarga Vina, tokoh utama dari film yang diadaptasi dari kisah nyata itu.

Kritikan lainnya terkait adegan kekerasan dan menjadi film horor, genre paling laris di Indonesia, yang dituding sengaja dipilih pembuat film untuk meraup untung dari korban pembunuhan dan perkosaan.

BACA JUGA: LPSK Targetkan Asesmen Psikologis Saksi Kasus Vina Tuntas Pekan Ini

Tetapi sejak diputar di layar bioskop di Indonesia pada 8 Mei 2024, film ini sudah ditonton hampir enam juta kali, menjadikannya film kedua terlaris di Indonesia di tahun ini, setelah Agak Laen (9,1 juta) dan diperkirakan menghasilkan setidaknya Rp200 miliar.

Menurut pengamat film Hikmat Darmawan, terlepas dari soal genre, etika, dan tudingan kormersialisasi di balik popularitas film Vina, yang perlu dilihat lebih dalam adalah faktor penonton.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Sebegini Jumlah Pelamar CPNS 2024, Ada Usul untuk Kabinet Prabowo-Gibran, Begini Infonya

"Saya memilih menjadi penonton saja dan mencoba memahami selera dan pilihan etis sebagian besar penonton," kata Hikmat Darmawan kepada ABC.

"Menurut saya, film ini lebih dirancang lebih untuk mengeksploitasi kemarahan penonton, bukan untuk mengeksploitasi seksualitas."

"Ada marah yang terpantik atas perlakuan para pemerkosa kepada Vina di layar, rasa keadilan yang terusik, yang dibawa ke luar bioskop … umumnya mengarah pada kemarahan pada polisi yang dianggap tidak beritikad untuk menyelesaikan kasus Vina," imbuhnya.

Kesuksesan film Vina juga tak bisa dilepaskan dari kisah nyata berbau supernatural di baliknya.Kisah nyata dan kerasukan

Seperti judulnya, film ini diadaptasi dari kisah nyata Vina dan kekasihnya, Eky, yang tewas pada 28 Agustus 2016. 

Awalnya pihak keluarga diberitahu polisi jika keduanya meninggal akibat kecelakaan tunggal lalu lintas.

"Waktu Ayah saya tiba di rumah sakit, polisi bilang [adik saya] kecelakaan tunggal, dan keluarga percaya karena yang bilang kan polisi," tutur kakak Vina, Marliana, kepada wartawan dengan didampingi kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea.

Meski menerima kesimpulan polisi, Marliana mengatakan keluarganya sebenarnya menyimpan keraguan setelah melihat motor yang ditumpangi Vina dan ponselnya tidak rusak sama sekali.

Keraguan mereka menguat ketika menerima panggilan telepon di hari ketiga setelah kematian Vina.

"Sekitar jam 1 dini hari, saya ditelepon oleh abangnya teman Vina, Linda, dia bilang 'almarhumah adek kamu masuk ke tubuh adik saya' … malam itu juga saya dan ayah saya pergi ke rumah dia."

"Di sana [Linda yang kerasukan] arwah Vina cerita semuanya tentang kejadiannya, dia bilang 'jangan terkecoh oleh polisi, saya bukan kecelakaan … saya diperkosa, dibunuh, disiksa dengan dipukul balok," kata Marliana yang saat itu merekam suara Linda yang diduga kerasukan itu.

"Setelah itu saya kasih rekaman itu, hape yang masih utuh, dan foto-foto motor yang masih utuh ke ayah Eky yang berprofesi sebagai polisi … tidak lama kemudian saya dapat kabar kalau pelaku ketangkep."

Dalam rekaman itu, tersebut pula satu nama yakni Egi, yang dituduh sebagai otak di balik dugaan pembunuhan dan perkosaan Vina.

Pada 30 September 2016, polisi menangkap delapan dari 11 tersangka dari anggota geng motor, yang kemudian divonis bersalah pada 26 Mei 2017, atas dakwaan melakukan pembunuhan berencana dan melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan.

Tujuh terdakwa dihukum penjara seumur hidup, satu lainnya yang masih di bawah umur dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.

Berdasarkan investigasi polisi dan dokumen pengadilan, tiga tersangka lainnya yakni Pegi alias Perong, Dani, dan Andi yang belum tertangkap masuk ke daftar pencarian orang.

Ketiganya belum tertangkap sampai delapan tahun kemudian saat film Vina ini diluncurkan.'Supaya polisi tidak tidur'

Seiring dengan popularitas film Vina, kedua orangtua dan kakak dari mendiang Vina juga kebanjiran undangan menghadiri talkshow di televisi dan podcast.

Mereka antara lain mengklarifikasi tudingan ekploitasi trauma keluarga yang ditujukan kepada sutradara dan pembuat film.

"Kami dari pihak keluarga menyetujui pembuatan film ini, … supaya polisi buka mata, tidak tidur, karena sejak 2016 tiga pelaku kan sampai sebelum film ini dibuat tidak ada kabar beritanya," kata Marliana dalam salah satu talkshow di televisi swasta.

Kombinasi dari film yang masih diputar di bioskop, pemberitaan yang luas, serta tanggapan publik di ranah digital dan media sosial membuat kasus yang dingin selama delapan tahun ini bergerak cepat.

Hanya sepekan setelah filmnya mulai diputar di bioskop, pihak keluarga diberi tahu polisi jika berkas kasus Vina telah dilimpahkan dari Polres Cirebon ke Polda Jabar.

Perburuan terhadap tiga orang tersangka di daftar pencarian orang gencar digelar, meski polisi mengaku kesulitan.

"Berdasarkan pemeriksaan saksi-saksi maupun delapan tersangka yang sudah divonis dan sudah di lembaga pemasyarakatan, tidak ada yang menunjukkan identitas asli dari ketiganya," kata Kombes Jules Abraham Abast, Kabid Humas Polda Jabar.

Pada 22 Mei, dua pekan setelah filmnya ditayangkan di bioskop, polisi menangkap Pegi Setiawan alias Egi alias Perong, salah satu buronan tersangka pembunuh Vina.

Tetapi ternyata kasus ini masih jauh dari selesai.Bekerja di bawah tekanan publik

Saat dihadirkan polisi dalam konferensi pers pada 26 Mei lalu, Pegi Setiawan memotong Humas Polda Jabar yang sedang memberi keterangan.

"Saya izin bicara," kata Pegi.

"Tersangka nanti [bicara] di sidang di pengadilan," timpal Kombes Jules Abraham Abast.

"Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu, ini fitnah, saya rela mati," kata Pegi kepada awak media sambil digiring polisi.

Setelah pengakuannya itu, muncul sejumlah kesaksian yang menyebut Pegi Setiawan tidak berada di Cirebon saat Vina dan Eky dibunuh.

"Kedua orangtua Pegi dan teman kerjanya tahu bahwa saat kejadian Pegi berada di Bandung, dan mereka akan memberi kesaksian," kata Toni RM, pengacara Pegi, kepada ABC.

Lovina, peneliti dari Institite for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan penyidik dan publik perlu mengantisipasi pernyataan Pegi sebagai potensi kasus salah tangkap, mengingat kasusnya sudah terjadi sejak tahun 2016 serta bantahan eksplisit dari tersangka.

Ia khawatir tekanan publik yang luar biasa pada kasus Vina justru membuat polisi tidak menyelidiki dan menindaknya dengan benar.

"Jangan sampai karena ingin dilihat bagus kinerjanya, mereka malah melakukan proses penegakan hukum secara serampangan," katanya kepada ABC.

“Di satu sisi, terdapat keuntungan dimana media sosial dapat menjadi alat bagi kita untuk memantau kebijakan publik, namun penting untuk dicatat bahwa aparat penegak hukum tidak boleh bekerja berdasarkan viral-based policies seperti ini… mereka harus mengikuti prosedur yang berlaku,” tambahnya.

Kuasa hukum keluarga Vina, Hotman Paris Hutapea pun mempertanyakan dasar hukum polisi menetapkan Pegi Setiawan sebagai satu-satunya orang yang dicari dalam kasus Vina meski putusan pengadilan tahun 2017 yang menjadi dasar penangkapan Pak Setiawan menyebutkan ada tiga tersangka.

Direktur Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Surawan membantah adanya kesalahan penangkapan dan menjamin Pegi sebagai dalang kasus pembunuhan Vina dan Rizky.

Ia mengatakan, selama ini polisi kesulitan melacak keberadaan Pegi karena selalu berpindah-pindah antara Cirebon dan Bandung dan menggunakan nama palsu yakni Robi Irawan.

“Kami telah memeriksa saksi-saksi kunci di lokasi kejadian, serta menyita barang bukti STNK dan KTP Pegi saat dilakukan penggeledahan di rumahnya di Cirebon,” ujarnya.

Semua mata kini tertuju pada kasus ini, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang ingin memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang terjadi dalam babak baru investigasi yang dilakukan di bawah tekanan publik ini.

"Sejauh ini sudah ada 23 orang yang diperiksa Komnas HAM, meliputi keluarga korban, kuasa hukum, dan terpidana", kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah.

Anis mengatakan Komisi juga berupaya mencari tahu tentang trauma yang dirasakan keluarga setelah Vina meninggal pada tahun 2016.

Kakak Vina, Marliana, mengaku tidak menerima intimidasi apa pun, namun ia menyebut keluarganya mengalami trauma dan tekanan dari pernyataan warga pengguna media sosial.

"Seperti sekarang, soal kabar salah tangkap, mereka menyalahkan keluarga saya. .. padahal kami enggak tahu apa-apa karena itu urusan polisi," ujarnya.

Marliana mengatakan satu-satunya harapan keluarganya saat ini adalah kesempatan kedua agar kasus pemerkosaan dan pembunuhan Vina dan Eky dapat terungkap secara jelas dan transparan, serta dalang di balik kasus tersebut dihukum.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Info dari LPSK soal Saksi Kasus Pembunuhan Vina Cirebon

Berita Terkait