jpnn.com, JAKARTA - Viryan Aziz menyebut banyaknya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal pada Pemilu 2019 menjadi alasan dirinya mencalonkan diri sebagai kandidat komisioner KPU RI.
Dia menyebut ada beban sejarah dari peristiwa pada Pemilu 2019 itu.
BACA JUGA: Bisakah Kampanye Negatif Hilang? Ini Kata Calon Komisioner KPU
Calon petahana komisioner KPU itu mengaku ingin memperbaiki penyelenggaraan pesta demokrasi mendatang agar tidak ada korban jiwa.
Viryan mengatakan itu saat proses uji kelayakan dan kepatutan para komisioner KPU RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/2).
BACA JUGA: Guspardi Ajak Masyarakat Memelototi Uji Kelayakan Calon Anggota KPU - Bawaslu
"Ada beban sejarah yang harus kita selesaikan bersama, bukan hanya saya dan teman-teman, tetapi kita semua sebagai bangsa," kata dia di Kompleks Parlemen, Selasa.
Viryan melanjutkan penyelenggaraan pemilu seharusnya menjadi kegembiraan. Bukan ladang kesedihan menyusul adanya petugas KPPS yang meninggal saat bertugas.
BACA JUGA: Calon Komisioner KPU Dicecar karena Sempat Tolak Pencalegan Eks Napi Korupsi
"Tidak boleh lagi ada di ajang pemilu yang semestinya menjadi kegembiraan menjadi kesedihan," tutur pria kelahiran Jakarta pada 4 September 1975 itu.
Viryan kemudian menyinggung tentang persoalan teknis yang ada di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) hingga kepemiluan secara umum pada uji kelayakan dan kepatutan.
Di TPS, satu masalah utama soal jam kerja petugas KPPS yang panjang. Para petugas terkadang bekerja hingga tengah malam seperti pada Pemilu 2019.
Menurut alumnus Universitas Tanjungpura itu, kerja harus diselesaikan oleh KPU. Sebab, kerja berat membuat petugas KPPS banyak yang wafat pada Pemilu 2019.
"Waktu kerja ini sangat berat dan menghasilkan saudara kita wafat dan sebagian sakit. Kami meyakini kemanusiaan tidak boleh kalah dengan aspek politik," beber Viryan.
Terkait proses kepemiluan, kata dia, masalah utama yang harus diselesaikan tentang banyaknya disinformasi di ruang publik.
Semisal ada narasi penghitungan suara dimanipulasi dengan IT, padahal proses tersebut tidak pernah direkap dengan elektronik. "Masih dengan manual," tutur dia. (ast/jpnn)
Redaktur : Elvi Robia
Reporter : Aristo Setiawan