jpnn.com, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menyoroti wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Wacana ini kembali menghangat setelah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bertemu dengan Presiden Joko Widodo.
BACA JUGA: Hamdi Sebut Bung Hatta Tokoh Legenda yang Berintegritas
Menurut Ketua DPP Bidang Hubungan Legislatif Partai NasDem Atang Irawan, amendemen terbatas UUD 1945 berpotensi membuka kotak pandora yang lain, karena UUD merupakan sistem ketatanegaraan.
"Pastinya pasal-pasal saling keterkaitan, dan UUD 1945 tidak mengenal perubahan terbatas, kecuali dibatasi oleh kebijakan politik perumus UUD sebagai komitmen kebangsaan," ujar Atang dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (16/8).
Wacana amendemen terbatas UUD sebelumnya menghangat ketika Ketua MPR Bambang Soesatyo bertemu dengan Presiden Joko Widodo.
Pada saat bertemu Jokowi, Bamsoet mengaku menyodorkan perihal mekanisme pembahasan Pasal 37 UUD 1945, dan yang kedua pembahasannya akan hal itu dikatakan tidak akan melebar.
"Memungkinkan juga dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37 akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lain. Tidak hanya satu pasal," ucapnya.
BACA JUGA: Prabowo Ingatkan Masyarakat Tugas Bela Negara, Penting!
MPR disebut ingin ada penambahan ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945.
Penambahan satu ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) serupa dengan GBHN sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945.
Sementara itu, penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
Atang yang merupakan ahli hukum tata negara, mempertanyakan ketika pasal 3 disetujui dan diketok, PPHN itu untuk siapa?
BACA JUGA: Karyono: Jangan Sekadar Teks Pidato Tanpa Aksi Nyata
Apakah untuk presiden atau untuk semua lembaga negara.
"Pertanyaan itu mungkin juga akan membuka pasal lain, atau yang kedua bagaimana pelaporannya? Kepada siapa pelaporannya? Kepada MPR? Jika kepada MPR, apakah memakai skema Tatib MPR di sidang 16 Agustus. Di sidang tahunan dengan melaporkan pertanggungjawaban kinerja," kata Atang yang sudah malang-melintang di dunia advokasi ini.
Atang juga mempertanyakan bagaimana sekiranya kinerja presiden dan lembaga negara tidak sesuai dengan PPHN nantinya?
Kalau biasa saja, kata dia, maka pasal 3 itu tidak ada maknanya secara konstitusional karena tidak bisa diikatkan dengan presiden dan lembaga negara lain.
Berikutnya, ketika pasal 3 itu disahkan, berarti MPR mempunyai kewenangan menetapkan dan mengubah PPHN.
Maka, semua lembaga negara harus melaksanakannya.
"Kalau tidak melaksanakan bagaimana?" tanya Atang lagi.
Atang justru melihat adanya potensi terhadap pemakzulan.
Dalam Pasal 7A UUD 1945 mengatur syarat pemakzulan.(Antara/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang