jpnn.com - JAKARTA - Wacana duet Bakal Calon Presiden Prabowo Subianto dengan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk Pilpres 2024 makin mengemuka belakangan ini.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai wacana duet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menimbulkan citra negatif bagi Presiden Joko Widodo.
BACA JUGA: Eks Aktivis 98 Ini Komentari Wacana Duet Prabowo-Gibran
"(Duet Prabowo-Gibran) memang akan mengundang narasi negatif terhadap publik, banyak yang menilai negatif kepada Gibran dan Presiden Jokowi. Kenapa Jokowi memasangkan Gibran sebagai cawapres?" kata Ujang di Jakarta, Kamis (12/10).
Ujang mengatakan Jokowi harus menghindari kondisi tersebut agar tidak dianggap melanggengkan dinasti politik. Kang Ujang, panggilan akrab Ujang Komarudin, khawatir apabila nantinya Mahkamah Konstitusi memutuskan umur cawapres dapat berusia 35 tahun.
BACA JUGA: Kepala PPATK Bertemu Presiden Jokowi, Lapor Berbagai Kasus termasuk Soal SYL
Uji materi UU Pemilu terkait batas usia capres-cawapres akan dianggap hanya untuk mengakomodasi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. "Ada tuduhan dari publik kepada MK bahwa bukan the guardian of constitution, tetapi guardian keluarga Jokowi," ungkapnya.
Oleh karena itu, Ujang berharap Jokowi dapat menghindari hal tersebut. Ujang pun berpendapat bahwa Gibran tak seharusnya diloloskan untuk menjadi cawapres pendamping Prabowo.
BACA JUGA: Kenapa Prabowo Pilih Gibran? Ini Penjelasan Ketua Harian Partai Gerindra Dasco
"Itu, kan, suatu tanggapan yang pedas dari publik kepada MK. Oleh karena itu, untuk menghindari hal seperti itu, semestinya Gibran tidak diloloskan untuk bisa jadi cawapres dengan keputusan MK," sambung Ujang.
Sementara, Dosen Ilmu Politik dan Studi Internasional Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan pencalonan Gibran bisa menciptakan "perang bubat" antara kubu Prabowo dengan PDIP yang lagi-lagi akan merasa diabaikan oleh keluarga Jokowi.
"Jika Gibran menjadi cawapres Prabowo, besar kemungkinan PDIP akan melakukan evaluasi total terhadap status relasi dan keanggotaan Gibran, Bobby, dan juga Jokowi sendiri di PDIP," tambah Umam.
Dia menyebutkan di saat yang sama pencalonan Gibran tampaknya sedang ditunggu-tunggu oleh para rival politik Jokowi, sebagai narasi "politik dinasti", yang akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk menentang legitimasi dan kredibilitas politik Presiden Joko Widodo.
Hal ini juga akan berdampak pada mesin politik pencalonan Prabowo sebagai presiden. Sebab, putusan MK dan deklarasi Prabowo-Gibran akan dianggap sebagai manifestasi nyata terhadap keinginan besar Jokowi dalam perpolitikan nasional.
"Narasi politik dinasti yang merujuk pada pasangan Prabowo-Gibran itu bisa dijadikan sebagai wacana penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dikait-kaitkan dengan potensi intervensi kekuasaan presiden terhadap yurisdiksi MK," ujarnya.
Kemudian, pasangan Prabowo-Gibran akan mengonsolidasikan semua lawan politik Jokowi untuk bersatu, termasuk PDIP, untuk melakukan perlawanan secara terbuka pada kekuasaan Jokowi dengan mengalahkan Prabowo-Gibran.
"Di sinilah, pertemuan Puan Maharani dan Jusuf Kalla menemukan urgensi dan revelansinya, sebagai koordinasi awal untuk membuka kemungkinan kerja sama politik di putaran kedua Pilpres 2024, jika Jokowi dianggap betul-betul sudah 'berulah' dan 'lupa diri' dengan amanah kekuasaan yang ia pegang saat ini," tutur Umam. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi